Friday, July 17, 2020

CERPEN Dijual Suamiku Part 5

DIJUAL SUAMI
#Dijual_suami
Part5
21+

Hendro ....?
Iya dia Hendro. Kenapa ia kemari? Mau apa dia? Berbagai macam pertanyaan muncul dalam benakku. Aku harus menghindar. Segera aku berbalik arah. Sial, ia terlanjur melihatku.

“Pit ... Pipit! Tunggu Pit! Ini Abang.” Dia berteriak memanggilku. 

Sekuat tenaga ia menerobos kedua penjaga itu, ia hampir berhasil. Seketika gagal saat sebuah pukulan mendarat di punggungnya. Ia jatuh tersungkur. Tak cuma itu, kedua penjaga juga terus menghujaninya dengan tendangan. Hendro meringis kesakitan. Tenaganya tak cukup kuat untuk melawan kedua bodyguard yang berbadan besar. 

Hendro tampak semakin lemah. Darah mengucur dari pelipisnya. Kedua penjaga itu menyeret tubuh Hendro keluar dari kawasan tempat hiburan. 

Meski ia bejat, tapi tak tega rasa hatiku melihatnya begitu. Kukejar mereka. 

“Bang ... Bang Rinto, Bang Niko! Tolong Bang, lepaskanlah dia. Nyarik aku memang dia Bang!”

“Bah, betulnya itu?” jawab salah satu penjaga itu dengan logat Medannya. 

“Iya, Bang. Lakikku nya dia, Bang. Tolong lah lepaskan ...” pintaku memelas agar mereka mau melepaskan Hendro.

“Sial kali kurasa hidupmu punya lakik macam bodat gini.” Mereka malah tertawa sambil geleng-geleng kepala. Kemudian mereka pergi meninggalkan kami berdua. 

“Bang Hendro ... gak apa-apa Abang, kan?” 

“Gak apa-apa, Pit. Makasih, ya? Udah mau bantu Abang.” Meskipun sempoyongan ia berusaha bangkit. Lagi-lagi tak tega. Kubantu ia untuk berdiri dan memapahnya menuju warung pinggir jalan. 

Kupesankan segelas teh hangat untuknya. Sembari menempel luka-lukanya dengan plester dan tissue.

“Mau apa Abang kemari?” tanyaku ketus. Meskipun tak tega melihatnya dengan kondisi begitu. Aku sebenarnya kurang suka akan kehadirannya.

“Abang mau nyari Kau, Pit.”

“Untuk apa?”

“Abang mau ngajak Kau pulang.”

“Aku gak mau. Aku mau tetap di sini. Abang, kan ... Yang udah ngirim aku ke sini? Jadi biarkan lah aku di sini. Gak usah Abang ganggu-ganggu lagi.”

“Abang tau, Abang salah. Abang udah berdosa kali sama Kau. Makanya Abang jauh-jauh datang ke sini mau minta maaf. Abang menyesal Pit.”  Dia bicara sambil terisak, tapi rasanya hatiku tak tersentuh. Menurutku itu hanya tangisan buaya. 

“Halah, Bang. Kalaupun nanti kumaafi pasti Abang bakal bikin ulah lagi.” 

“Abang janji gak akan mengulangi lagi, Pit. Demi Allah. Abang udah tobat, Pit. Makanya Abang mau jemput Pipit. Kita mulai hidup yang baru. Pulanglah sama Abang, Pit.” Dia memelas. Raut wajahnya sepertinya serius. 

Ya Tuhan ... apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku percaya ucapan Hendro. Jika memang benar pastilah ini jalan terbaik untukku untuk keluar dari lembah nista ini.

“Sudah lah, Bang. Abang pulanglah dulu. Nanti aku pikirkan lagi. Mana mungkin aku bisa memutuskannya dalam waktu singkat.” Kucoba memberikan pengertian padanya. 

“Iya, Pit. Abang bisa ngerti. Kau juga perlu tau ... mamak juga berharap Kau pulang. Dia sekarang sendirian. Adekku semua udah nikah. Tinggal mamak sendiri yang tinggal di rumah itu. Setiap hari nanyakan Kau. Setiap hari Abang disuruhnya jemput Kau. Kata dia, menantunya yang baik itu Cuma Pipit.”

“Udah lah, Bang. Pulanglah dulu sana. Aku mau kerja lagi. Kalau Aku berubah pikiran nanti kuhubungi Abang.” 

Dia tampak maklum. Setelah itu kutinggalkan dia sendirian di warung itu. 

Bingung. Pikiran bercampur aduk tak menentu. Aku tergiur untuk kembali pulang bersamanya. Namun di sisi lain aku masih tak percaya akan perubahannya. Bisa saja sewaktu-waktu dia kembali bejat dan menyakitiku. 

Bayangan kelam tak bisa dengan mudah terhapus dari ingatanku. Sudah lah, aku tak berminat lagi meneruskan aktivitasku malam itu. Aku berjalan gontai menuju kamar asrama. Aku baringkan tubuhku menatap langit-langit kamar. Pikiran menerawang membayangkan masa depan. Akan seperti apa nantinya. 

Hingga menjelang pagi mata tak juga terpejam. Sampai terdengar riuh derak kaki para teman-teman yang kembali ke kamarnya masing-masing. 

“Loh, Kau udah pulang, Pit?” Wati tampak terkejut melihatku sudah di kamar. 

“Tadi malam aku gak kerja.”

“Kenapa?”

“Hendro datang.”

“Apa? Suamimu?” 

“Iya.”

“Mau apa dia kemari?”

Kuceritakan semua kejadian malam tadi kepada Wati. Ia mendengarkan dengan saksama. 

“Jadi, sekarang macam mana? Kau mau pulang ikut dia?” Wati menanggapinya dengan serius.

“Enggak tau lah aku, Wat. Aku bingung. Menurutmu ... bagusnya aku kayak mana?” 

“Pelik memang. Ya terserah Kau lah, macam mana bagusnya. Kalau menurutmu dia memang udah berubah ya enggak ada salahnya, tapi Kau juga harus waspada. Jangan sampai tertipu dua kali.”

Benar apa yang dikatakan Wati. Aku pun berpikir demikian. Ah, sudahlah aku pikir-pikir saja dulu. Sambil menunggu dan melihat seberapa serius Hendro ingin berniat baik.

Tanpa aku sadari jika wajah Wati lebam. Setelah ia mandi dan membersihkan make up barulah terlihat dengan jelas.

“Kau kenapa, Wat?” seruku saat melihatnya.

“Biasalah, Pit. Aku dapat tamu orang Bangladesh, dia maniak. Habis aku disiksa sampai dia puas.” Wati bercerita sambil mengompres wajahnya dengan es batu. 

Kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Aku juga pernah mengalaminya. Saat itu aku melayani tamu bule. Rupanya dia juga seorang maniak yang hobinya menyiksa pasangannya sampai ia merasa puas. 

Memang sih, kami diberi imbalan yang lumayan gede. Hanya saja, kalau bisa memilih tentu tidak mau melayani tamu macam itu.

***
Malam itu, Hendro datang lagi. Kembali meyakinkan aku tentang niatnya. Aku masih tak terlalu menanggapi dan tidak begitu memedulikannya. Dia tidak patah semangat. Hampir setiap hari datang dan datang lagi. 

Aku sampai jengah dan risi terhadap kak Iyen, juga teman-temanku. Otomatis aku tak punya penghasilan. Setiap malam harus menemuinya, kalau tidak ia akan membuat keributan. 

Syukurlah bang Rinto dan Nico sudah tahu kalau Hendro adalah suamiku, kalau tidak habis lah dia. 

Rupanya masalah ini didengar oleh kak Iyen. Ia memanggilku. Aku pikir akan dimarahi, rupanya malah menawarkan solusi. 

“Kakak tau, Kau pasti merasa enggak enak sama kami, tapi Kau tenang aja. Aku bisa paham, udah biasa itu. Kalau Kau mau, kami bisa memindahkanmu ke cabang yang ada di Singapura atau Jakarta. Terserah mau pilih yang mana. Apalagi kinerjamu bagus. Semua tamu yang Kau layani merasa puas. Itu adalah nilai plus buatmu. Aku yakin Bos enggak akan menolak usulku.”

Solusi dari kak Iyen cukup menarik. Aku akan pertimbangkan mana yang lebih baik untuk hidupku. Saat itu usiaku masih 21 tahun. Masih cantik dan ranum. Masih jadi primadona bagi kaum lelaki. 

Kuceritakan semuanya kepada Wati, tapi sepertinya ia kurang setuju. 

“Pit, bukan aku iri. Tapi coba Kau pikir. Di sini kita bisa mendapatkan barang bagus dengan harga murah. Untuk keperluan sehari-hari semua ditanggung manajemen. Sementara di kantor cabang enggak begitu. Mereka dituntut untuk lebih mandiri. Apalagi biaya hidup di Singapura itu lumayan tinggi, loh. Begitu juga di Jakarta. Jangan sampai kayak teman-teman yang ada di sana. Kebanyakan lebih besar pasak daripada tiang. Berlomba-lomba untuk tampil maksimal, kadang sampai berhutang sama pihak manajemen. Alhasil mereka enggak bisa bebas. Hidup aja yang glamor, tapi duit enggak ada. Apalagi kalau udah tergiur jadi model atau artis. Mereka harus mengeluarkan uang yang banyak. Selamanya enggak bisa bebas dari lingkaran bisnis prostitusi.”

Ucapan Wati kembali menggoyahkan pikiranku. “Jadi menurutmu aku harus bagaimana, Ti?”

“Kesempatan enggak datang dua kali, Pit. Bisa jadi Hendro benar-benar sudah tobat. Kalaupun suatu hari nanti sifat aslinya balik lagi. Setidaknya Kau bisa meninggalkannya secara baik-baik. Orang-orang tau nya Kau cuma istri yang teraniaya, bukan pelacur. Lagi pula Pit, perempuan kayak kita jarang bisa menikah dengan lelaki baik-baik. Kalaupun ada, kebanyakan cuma dijadikan istri kedua atau simpanan. Sama aja, selamanya dicap sebagai pelakor.”

Benar juga apa yang diucapkan Wati. Kapan lagi punya kesempatan untuk hidup normal. Aku harus segera memutuskan mana yang akan aku pilih.

Bersambung. Part 6
Previous Post
Next Post

0 komentar: