Aku yang belum tentu setahun sekali melaksanakan sholat, magrib itu sholat dengan khusuk. Setelahnya aku berdoa hingga menitikkan air mata mohon perlindungan Allah. Sehabis berdoa, si Bapak yang mengimami ku sholat magrib berbalik kearahku.
"Jang, nanti habis sholat Isya langsung berangkat. Ngga usah takut, bismillah aja. Doa jangan putus nya? "
Aku cuma diam dan mengangguk.
"Setan apa aja ngga bisa nyelakain kalo Ujang inget Gusti Allah. Cuma Allah sebaik-baiknya pelindung. " Sambung si Bapak lagi.
Setelah Isya. Aku mengisi carrierku dengan dua botol air mineral. Ku cek lagi headlamp juga senter. Semua siap.
Ku tengok sekali lagi keadaan Ayu. Dia sedang tertidur, dan masih ditemani si ibu tua. Ibu itu tersenyum kepadaku seperti memberi restu.
Diluar aku sudah ditunggu si Bapak. Aku mencium tangannya sekaligus minta dibantu doa.
Lalu si Bapak memberikanku sebuah bungkusan dari kain putih. Aku bertanya, "apa ini pak? "
"Bungkusan ini isinya tanah. Nanti tanah ini kamu sebar di gubuk belakang Condong Amis ya. Kainnya kamu bawa. Nanti kalo ketemu yang kamu cari, kain ini buat bungkusnya. "
Sekali lagi aku mengangguk. Lalu dengan menarik nafas dalam, aku berangkat.
Seekor burung berkaok-kaok entah dimana mengikuti setiap langkahku. Satu-satunya penerangan hanya cahaya senter yang kurahkan ketanah. Aku sengaja memfokuskan pandangan ke langkah kakiku. Semakin jauh kuberjalan, bayangan horror malam itu kian menjadi nyata. Tapi tiap kali bayangan itu muncul segera kutepis jauh-jauh walau sia-sia.
Aku berhenti dibatas ladang. Didepanku sekarang membentang hutan pinus. Aura mistis menjalar dari semua tempat. Dengan mengucap bismillah, aku melangkah.
Tiba-tiba aku mencium bau busuk yang sangat pekat. Bulu kudukku langsung berdiri. Cahaya senter bergoyang akibat tanganku yang gemetar hebat. Aku tetap memaksa untuk maju walau pelan. Setiap kali aku ingin berbalik dan lari aku selalu diingatkan sosok Ayu yang sedang tertidur saat tadi kutinggal.
Bau busuk itu hilang, berganti bau melati. Sumber baunya begitu dekat, seakan-akan tepat dibelakangku. Bulu diseluruh tubuhku meremang membayangkan sosok apa dibelakang. Aku menunggu tangan sedingin es menyentuh tengkukku. Aku istighfar dan berjalan makin cepat.
Dalam situasi seperti ini tiba-tiba aku teringat legenda Nini Pelet yang konon berkeliaran diantara pohon-pohon pinus diwilayah ini diwaktu malam. Juga sosok Nyai Kembang, pengantin wanita yang mati saat tengah mengandung dan mayatnya dibangkitkan. Pikiran tentang Nyai Kembang dengan wajah pucatnya menyeringai dibelakangku cukup membuatku langsung berlari panik.
Entah berapa lama aku lari tanpa mempedulikan jalan yang mulai menanjak. Bayangan Nyai Kembang yang menyeringai sungguh menerorku. Hingga akhirnya aku tersungkur karena kakiku terkait akar pohon melintang. Sekitarku bukan lagi hutan pinus, melainkan pohon pohon tua raksasa. Di depanku jauh keatas nampak sebuah bangunan gubuk kayu. Dari posisiku saat ini bayangan gelap bangunan itu yang diselimuti kabut tipis seakan memberikan peringatan untuk jangan coba-coba berani mendekat. Dengan ragu kusenteri bangunan kosong itu. Mungkin ini yang dimaksud gubuk condong amis yang dimaksud si Bapak.
Pelan dan ragu aku mendekati bangunan ditengah hutan ini. Sosok gelap bangunan ini saja sudah cukup mengintimidasiku. Pohon-pohon hitam disekitarnya dengan ranting kurus yang dalam pikiranku bagaikan tangan orang mati menjuntai disana sini.
Aku berhenti sepuluh meter didepannya, menyorot-nyoroti cahaya senterku kesetiap pojok ruangan. Lega setelah tidak ada sosok apapun yang bersembunyi dikegelapan.
Tanganku merogoh kantung celana dan mengambil bungkusan putih berisi tanah. Warna putih kain itu langsung membuatku bergidik ngeri. Kubuka ikatannya, lalu kutuangkan tanah didalamnya ke tanganku. Kutarik nafas langsung kuberlari kebelakang pondokan ini lalu secepatnya kusebar tanah tadi sesuai permintaan si Bapak. Aku sengaja melakukannya dengan cepat, karena ngeri membayangkan apa yang ada dibelakang pondokan itu.
Tiba-tiba muncul sebuah wajah putih menyembul diantara semak, matanya membelalak lebar tepat didepanku. Aku langsung jatuh duduk sambil berteriak-teriak histeris.
Bersambung..
0 komentar: