"Dek, ini untukmu, pakai uang ini dengan baik, jangan boros!" seru suamiku memberikan lima lembar uang seratus ribu dan langsung kuterima dengan riang karena ini kali pertama dia memberiku nafkah setelah 4 bulan kami menikah.
Uang yang diberikan kepadaku itu sebenarnya adalah uang yang kusetorkan padanya karena dia menyuruhku memutarkan uang satu juta miliknya untuk modal berjualan bantal custom homemade yang kujual secara online dan Alhamdulillah laris. Dari modal satu juta, aku menyetorkan seluruh hasilnya dalam waktu hampir satu bulan yaitu empat juta rupiah. Selang lima menit kemudian dia memberiku lima ratus ribu. Meski tidak ada setengahnya dari empat juta begitu saja aku sangat amat senang dia sudah mau memberikan nafkah kepadaku.
"Oh ya dek, besok aku juga mau mengajakmu melihat rumah ini, rumahnya lumayan dan harganya murah. Kalau aku bangun rumah ditanahku bisa-bisa habis uangnya karena tanahku dan luas." kata suamiku sambil menunjukkan foto iklan rumah yang baru diposting satu hari yang lalu.
"Iya mas, kamu hubungi dulu nomer yang ada di iklan rumah itu, bikin janji kalau besok mau lihat-lihat rumahnya. Oh ya mas, besok juga temanku si Yunet juga mau mengajak kita liburan ke puncak, dia ngajak suaminya dan aku disuruh ngajak suamiku, apa kamu mau mas? Tenang semua dibayarin sama Yunet. Kita nanti nginap semalam di villa puncak paginya jalan-jalan bentar ke paralayang terus sorenya pulang. Mau ya mas? Ya ya yaaa?" pintaku sedikit memaksa.
"Oke yauda kita berangkat pagi biar siangnya kita liat-liat rumah dulu. Lagian jalannya searah mau ke puncak kan."
Esok pun tiba, kami berempat pun sampai di gerbang masuk perumahan tempat kami akan melihat-lihat rumah. Sambil menunggu kami berkeliling melihat-lihat kondisi sekitar dan akupun hanya pasrah melihat kondisi sekitar perumahannya yang kata Ayahku, sekitar perumahan itu adalah kampung begal dan rampok. Banyak penjahat yang berada disitu. Sudah terkenal dari dulu. Pantas saja harganya murah, selain berada di perumahan yang masuk agak kedalam jauh dari jalan raya, ternyata daerah sekitar perumahan itu terkenal cap buruknya batinku dalam hati. Tapi aku diam dan berpikir punya rumah sendiri lebih baik daripada tinggal bersama orangtuaku yang harus mendengar sesekali teriakanku karena suamiku yang ringan tangan itu.
Setelah pemilik datang kami melihat rumahnya. Ternyata bekas lelang bank dijual dengan harga delapan puluh juta rupiah. Rumah kamar dua dan bangunannya juga sudah banyak yang rapuh. Suamiku ternyata senang dengan rumahnya dan bilang ke pemiliknya kalau akan membelikan rumah ini untukku.
"Dek, kamu ada uang satu juta? Aku tidak membawa uang hanya dua ratus ribu saja. Aku akan memberikan DP ke pemilik sebagai tanda jadi agar rumah ini tidak diberikan ke yang lain, nanti akan ku ganti."
"Ini ada mas." sambil kuserahkan uang satu juta ke suamiku.
Setelah selesai bertransaksi kami berempat pergi ke puncak. Aku bilang semua biayanya ditanggung temanku yang mengajakku. Tapi tidak, itu hanya alasanku saja agar aku bisa keluar dari rumah orangtuaku mencari udara segar, pada kenyatannya kami berdua, aku dan temanku patungan separuh-separuh. Kalau aku tidak bilang begitu mana mau suamiku liburan. Dia takut aku minta dia bayarin dan takut uangnya akan habis.
Setelah sampai di villa kami istirahat. Perjalanan jauh selama 3 jam membuat kami lumayan lelah. Kami langsung masuk ke kamar masing-masing. Di villa itu ada 2 kamar yang pas untuk kami berempat dengan pasangan masing-masing.
Setelah membersihkan tubuh aku berselonjor kaki sebentar dan menikmati hawa puncak yang dingin. Suamiku nampak berpikir keras sambil menatap ponselnya. Aku langsung bertanya. "Kenapa kamu mas? Kok seperti orang cemas?"
"Aku memikirkan uang satu juta tadi yang kuberikan sebagai tanda jadi. Apa rumah itu benar legal? Karena ada stiker lelang bank di pintunya."
"Kan pemiliknya sudah bilang mas, dia sudah beli dari bank setahun yang lalu dengan harga tujuh puluh lima juta dan dia jual ke kita delapan puluh juta. Surat-suratnya juga kita teliti tadi lengkap kan. Nanti tinggal balik nama saja berarti sudah menjadi milikmu mas. Tidak akan disita bank. Kita kan ada surat jual beli dan sertifikatnya. Sudahlah mas, kamu tenang saja yah. Kita balik nama di notaris segara legal nantinya." ucapku menenangkan. Dalam hatiku berpikir, itu uang satu juta kan uangku yang dia pinjam jadi kalau kita ditipu kan aku yang rugi kenapa dia yang cemas. Aku saja santai.
Setelah berhasil menenangkan dia, aku ingin berhangat-hangat ria dengan suamiku ditengah kedinginan ini. Namun dia menolak dan memutuskan untuk tidur membelakangiku. Aku mencoba merayu, memeluknya dan gagal, dia menghempaskan tanganku. Dia bilang sedang tidak ingin bercinta denganku. Aku hanya pasrah. Selama empat bulan pernikahan kami memang bisa dihitung hanya berapa kali kami berhubungan badan. Padahal aku sudah mandi berdandan cantik dan wangi. Tapi aku masih ditolaknya. Sampai aku berpikiran bahwa dia tidak normal tapi segera kuhilangkan pikiran itu.
Bersambung... Part 3
0 komentar: