Monday, July 20, 2020

CERPEN Masalalu Suamiku Part 3

#Masalalu_Suamiku_3

Pagi yang cerah aku pergi kepasar diantar oleh suamiku. Seperti biasa aku membeli ikan asin dan klotok, tidak lupa membeli bahan untuk sayur asem dan sambal terasi kesukaan nya. Bisa habis nasi 2 piring pasti kalau dia makan itu.

Ya, hampir setiap hari kami makan seperti itu, kalau tidak sama tahu tempe goreng, nasi goreng pakai telur ceplok, atau mie instant yang isi dua, kami punya stok cukup banyak untuk itu.

Tidak terasa setelah 6 bulan pernikahan, aku berusaha keras bagaimana aku bisa mendapatkan hak ku yaitu nafkah dengan cara lain. Aku berhasil membujuk suamiku mengeluarkan uangnya untuk menafkahiku secara tidak sengaja. Dalam hati aku berkata "Aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan wahai suamiku!"

Setelah melewati proses yang cukup alot, akhirnya dia memberiku uang enam puluh juta untuk membangun sebuah warung makan. Aku kini mempunyai warung makan yang dibangun suamiku diatas tanah orangtuaku. Dia berkata "Warung ini itung-itung sebagai ganti karena aku selama ini aku tidak pernah memberimu uang, kamu kelola ya warung ini nanti aku bantu."

Setelah warung sudah beroperasi suamiku sedikit ceria lagi, dia banyak membantuku mengelola warung makan ini. Walaupun dia sering memprotes masakanku ujung-ujungnya dia menyuruhku berjualan makanan juga. Dia tidak banyak lagi berkomentar membandingan aku dengan Ibunya. Ya, masakanku dan segala yang aku lakukan selalu dibandingkan dengan Ibunya. Tapi suatu waktu dia berucap lagi. Membanding-bandingkan lagi.

"Mama itu suka masak dan semua masakannya selalu enak, kamu belajar sana sama Mama, dia juga bisa benerin genteng dan nge cat rumah sendiri tanpa bantuan oranglain, kalau Mama bisa harusnya kamu juga bisa." cecarnya saat masakanku menurutnya tidak cocok dilidahnya.

"Iya mas, aku akan berusaha seperti Mama." sahutku sambil melengos dan mengerjakan pekerjaan lain saat warung baru saja tutup.

Tidak terima aku melengos, dia berkata dengan kasar "Kalau dibilangi sama suami itu dengarkan, jangan melengos!" lalu dia menarik kaos belakangku dan mendaratkan bogemnya di pipiku. Aku sungguh kaget dan melempar termos es yang sedari tadi kupegang. Lalu berteriak sambil memegangi pipiku yang sakit. "Ngomong ya ngomong aja nggak usah pakai mukul." teriakku.

Orangtuaku yang tidak pernah ikut campur urusan rumah tanggaku walaupun kami berada dirumahnya akhirnya mendengar kemarahanku untuk pertama kali itu. Seperti ada kekuatan dalam otak dan hatiku untuk memberontak.

Aku memaki suamiku dengan keras dan tegas. Suamiku lebih kaget mendengar makian dariku karena tidak pernah aku melawan selama ini. Ibuku yang mendengar pertengkaran kami sampai drop dan akhirnya masuk rumah sakit.

Sakit hatiku, otak ini rasanya sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, sudah lelah larut malam baru tutup setelah warung seharian ramai pembeli, diberi bogem pula dan membuat Ibuku kembali masuk rumah sakit karena gula darahnya kembali naik tinggi.

Mungkin Ibuku memikirkan anaknya yang tersiksa lahir batin ini. Memang orangtuaku tipe orangtua yang tidak suka keributan. Bagi mereka kehangatan dan kebahagiaan keluarga itu jauh lebih penting dan harus selalu dijaga. Mungkin orangtuaku juga kaget mendengar pertengkaran kami yang tidak bisa kututup-tutupi lagi seperti sebelum-sebelumnya.
💦💦💦

Setelah kejadian itu dia tidak kasar dan ringan tangan lagi kepadaku. Mungkin dia takut aku maki lagi. Dia pikir aku tidak bisa memaki. Dan untuk pertama kalinya setelah tiga bulan kami tidak berhubungan badan sama sekali akhirnya dia mengajakku. Aku lalui itu dengan biasa tanpa hati, tanpa rasa, dingin dan malas rasanya, hanya sebentar lalu selesai.

Ya, setelah bogem mendarat dipipi waktu itu, sudah hilang rasa sayang dan hormatku kepadanya. Aku mulai bersikap dingin kepadanya. Akupun tidak lagi memintanya untuk berhubungan badan denganku walaupun sebagai perempuan normal aku sangat ingin melakukan hal itu. Berkali-kali ditolak dan dihempaskan rasanya membuat aku sudah tidak ingin lagi mendekatinya dan berbaik-baik kepadanya lagi.

Orangtuaku yang akhirnya mengetahui watak asli suamiku langsung menyuruhku untuk beribadah lebih rajin lagi. Ibuku tidak pernah menyuruhku untuk memilih perpisahan sebagai jalan keluar tapi beliau menasehatiku untuk menyerahkan semua masalah pada sang pemberi masalah itu jika aku merasa sudah tidak kuat lagi.

"Yang sabar ya nak, ini ujian kenaikan level dalam hidupmu, setiap masalah yang diberikan pasti sudah berikut jalan keluarnya, minta aja sama Tuhan, nanti pasti dikasih jalan terbaiknya." ucap Ibuku dengan berlinang air mata. Akhirnya kami menangis bersama dalam kesedihan.

"Mami, maafin aku ya mi, selama ini mungkin banyak salah ke mami sampai aku diperlakukan seperti ini oleh suamiku." ucapku sambil meminum air dari tempat rendaman kaki Ibuku yang sudah kucuci.

"Enggak nak, kamu selalu merawatku dengan baik. Saat Mami stroke kamu yang selalu mendampingi Mami kan sampai bisa jalan lagi. Kamu yang sabar ya nak."

Ibuku selalu menyabarkan aku, ku peluk erat Ibuku yang malang dan kami kembali menangis bersama lagi.
💦💦💦

7 bulan berlalu dan tidak ada tanda-tanda kehamilan dariku. Mungkin Tuhan berkehendak lain. Antara senang dan sedih karena aku sangat mengharapkan anak tapi aku tidak mau anakku nanti bertabiat buruk seperti suamiku.

Sampai suatu hari aku menemukan pesan aneh yang masuk di ponsel suamiku. Kebetulan dia lupa membawa serta ponselnya padahal setiap keluar kamar dan kemanapun selalu dia bawa. Bahkan ke kamar mandi pun dibawa. Kali ini dia biarkan ponselnya tertinggal dikamar, sedang dicharge dan tanpa dikunci. Mungkin dia sudah kebelet banget pikirku. Karena penasaran akhirnya kubuka pesan itu. Baru pertama kali aku seberani ini. Sebelumnya hanya memegang pun aku tak berani. Aku sangat menghargai privasinya.

Setelah aku buka, betapa sangat terkejut aku dengan isi pesannya. Aku langsung memfoto pesan itu dengan ponselku sebagai bukti kalau suatu saat dibutuhkan. Entah kenapa tiba-tiba aku berpikiran seperti itu. Mungkin Tuhan sudah mengetuk hati dan menyadarkanku melalui cara-cara terbaik-Nya.

Bersambung... Part 4
Previous Post
Next Post

0 komentar: