Sunday, August 30, 2020

CERPEN Kedatangan 3 Tamu Gaib Part 1


O iya, dulu banget sewaktu masih pakai akun lama, kisah ini pernah kutulis dengan judul "Bidadari Karet Bivak." Mungkin salah satu dari panjenengan ada yang mengingatnya.  

Semenjak terjun ke dunia rias, "mereka" semakin sering mengunjungiku. Andai saja aku tahu jika mereka yang datang adalah tetangga dari "alam sebelah" tentu sebisa mungkin aku akan menolaknya. Mungkin dengan memasang plang di depan pintu yang bertuliskan begini, "TIDAK MENERIMA TAMU DALAM WUJUD MEMEDI."

Eh, aku pernah lho karena ada rasa takut waktu mau berangkat ngrias jam 2 pagi, jok motorku tak tempeli kertas yang bertuliskan, "MBAK KUNTI DAN SEJENISNYA DILARANG MBONCENG." Hahahha. 

Kadang aku berpikir, kok iso yo? Opo karena bau badanku yang bikin mereka senang? Tapi pas tak cium keti  ... aman, gak ada tuh bau kemenyan atau bau kembang setaman. Atau wajahku yang kayak memedi? Aku ngaca ... aman juga. Rambut yang tumbuh di tangan dan kaki pun dalam batas wajar. Beneran deh.  Atau karena aku ini slengekan? suka becanda jadi mereka tidak ada sungkan-sungkannya? Halah embuh wes.  

Jangan bayangkan "klien-klienku" itu buruk rupa. Tidak, mereka cantik, normal, hanya ... terkadang ekspresi mereka yang berbeda. Biasanya tatapan matanya kosong, pun dengan kulitnya, terasa dingin saat disentuh. Makanya aku tak pernah tahu kalau mereka bukan manusia, barulah setelah mereka pergi, lalu mendadak menghilang, aku menyadari, "Oh, ternyata kui mau memedi."

Di antara semua pengalamanku bertemu dengan "mereka",  peristiwa yang akan kuceritakan inilah yang benar-benar membekas dalam benak. Hal ini membuatku semakin yakin akan kuasa Allah. Gaib itu ada. Ada dunia lain selain dunia manusia. Jika sampai manusia bisa bersinggunga dengan mereka, itu adalah kehendak-Nya. Tanpa seizin-Nya, sungguh rasanya mustahil ini terjadi. 

Karena untuk bisa mendekati manusia dalam wujud wajar, mereka membutuhkan energi yang luar biasa besar. Tentu ini berbeda dengan manusia yang memang sengaja mendatangi mereka. Seperti para pelaku pesugihan atau orang yang menggunakan kekuatan jin sebagai tameng/pelindung. 

Wes pokokmen buang jauh-jauh keinginan bersekutu dengan mereka. Jangankan sama Jin, berhubungan dengan manusia pun ada saja yang berharap pamrih/imbal balik. Lha yo opo ono,  meminta tolong sama jin tapi gak pakai tumbal/imbalan? Hari gini ... mana ada yang gretong, cyuuiiinn. Pipis we mbayar rongewu.

Berbicara tentang jin-jin yang dijadikan sekutu manusia, ternyata mereka ini di alamnya juga tidak disukai oleh sesamanya. Mereka ini tidak sungkan berbuat licik menyerap energi teman-temannya. 

Setelah kupikir-pikir, kok sama dengan di alam manusia, ya. Kayak para koruptor itu, yang tega memakan uang rakyat. Kok kamu tahu, Nir? Yo jarene mereka-mereka itu, Mbakyu. Kadang nek lagi ketemu alon-alon ya sambil tak korek. Aji mumpung. Karena ternyata ngepoin mereka kui seru. Seseru Bu Tejo kalau lagi ngghibahin Mbak Dian. 

Intinya meskipun jin, kalau yang baik ya baik, yang jahat yo jahat. Tidak beda  sama manusia. Yang baik ya baiiik, yang jahat yo ngalah-ngalahin kelakuan jin/iblis. Malah kalau manusia lebih sulit untuk diprediksi. Di depan baik, di belakang kita? Embuh. 

Tapi sebaik apapun mereka andai mau bergaul wes sak madyo waelah. Ojo kebablasen. 

Balik lagi ke inti cerita. Peristiwa yang akan kuceritakan ini terjadi sudah cukup lama. Tujuh tahun yang lalu--antara akhir maret atau awal april--aku lupa. Yang pasti terjadi di Malam Jum'at. 

Entah mengapa suasana malam itu terasa berbeda dari biasanya. Di rumah kami hanya tinggal bertiga. Resiko bersuamikan montir yang suka keluyuran di laut ya begini ini. 

Sejak sore aku dan kedua anakku sudah masuk ke kamar. Tak seperti biasanya anak-anakku yang biasanya anteng terlihat gelisah. Si bungsu yang waktu itu masih mengASI terus minta dikeloni sambil nenen. Tak mau dilepas walau hanya sejenak.

Sedangkan si sulung yang biasanya tak pernah mau kuajak tidur sekamar sejak kelahiran adiknya, malam itu malah minta tidur denganku. Katanya, "Mbak takut, Buk."

Saat kutanya balik, "Mbak takut apa?"

Dia pun menjawab, "Ya takut aja." seraya memeluk pinggangku dari belakang. Karena masih meneteki adiknya, terpaksa aku memunggungi si Mbak. Agar dia merasa nyaman, kutepuk-tepuk pahanya dengan sebelah tangan. Anehnya, meskipun telah tertidur pulas, si Mbak tetap saja gelisah. Setiap tangan ibunya berhenti dia pasti langsung menepuk-nepuk tanganku. Kelisikan kalau orang Jawa bilang.

Si adik pun tak mau kalah. Setiap (maaf) nenennya terlepas dia pasti langsung merengek. Sungguh, aku sampai keheranan dengan polah kedua anakku. Apa yang mereka rasa, kok bisa kompak rewel? Padahal suhu badannya normal. Kamar pun tak terlalu panas karena di luar sedang gerimis. Apa mereka kecapekan karena terlalu banyak bermain saat siang?

Situasi seperti ini benar-benar membuatku tak nyaman. Mata sudah sangat berat, tapi anak-anak tak juga tertidur pulas.

Terbersit rasa takut di sudut hati. Apa karena ini malam Jum'at jadi suasananya sedemikian wingit? Buru-buru kukondisikan pikiran. Ah, itu hanya bayanganku saja yang ngelantur. 

Namun, ketika ingat jika rumah tetangga yang mengapit rumahku sedang kosong, nyaliku kembali ciut. Apalagi saat terbayang kejadian beberapa waktu lalu. Saat aku mandi jam tiga pagi terdengar suara perempuan yang sedang bermain air sambil bersenandung di kamar mandi tetangga. Begitu besoknya kutanyakan kepada pemilik rumah, apa tadi pagi main air di kamar mandi, katanya nggak. Nah lho.

Pernah juga aku lagi FB an, ada hal yang membuatku tertawa, eee ... lha kok ada yang ikut tertawa juga. Kan hasyem. Mau kuberani-beraniin, tetep aja merinding.  

Kali ini entah kebetulan atau bagaimana, tetanggaku bisa berbarengan pergi ke rumah saudaranya. Yang satu ke Bogor, satunya lagi ke Bekasi. Apes.

Kutengok jam hampir tengah malam. Suasana komplek sudah benar-benar sepi. Tak lagi terdengar aktivitas tetangga seperti biasanya. 

Aku mencoba untuk tidur. Terus memejamkan mata meskipun pikiran ngelantur ke mana-mana. Terbayang suasana kuburan di belakang rumah tetangga, pohon pisang yang tumbuh di dekat sumur dan menjadi sarang kuntilanak, juga situasi pohon jambu tempat si pakde gondrong nongkrong yang berada tak jauh dari rumahku. Fiuuh, ampun, Gusti. Ini pikiran kok nyiksa banget.

Kualihkan pikiran dengan berdzikir. Dalam hati terus aku membaca ayat kursi. Berselang seling dengan do'a Nurbuat dan Sayyidul Istighfar. Alhamdulillah, perlahan hatiku mulai tenang, kantuk pun mulai menghampiri. 

Namun, baru juga hendak terlelap, tiba-tiba terdengar ketukan dari arah pintu ruang tamu. Mata yang nyaris terpejam mendadak terbuka lebar. Aku tak berani langsung menyahut. Tetap diam di ranjang seraya menajamkan pendengaran. 

Ketukan itu kembali terdengar, kali ini diiringi suara seorang wanita yang memanggil-manggil namaku sambil mengucap salam,  "Assalamualaikum, Mbak Ayu," panggilnya.

Aku masih tetap diam, hanya bangun lalu duduk di sisi tempat tidur. Kulihat bungsuku mulai pulas. Bibirnya berkedut seperti sedang menyusu. Si sulung meringkuk memeluk selimut kesayangannya. 

"Assalamu'alaikum, Mbak."

Lagi-lagi suara itu terdengar. Tambah takut to aku. Keluar, nggak. Keluar, nggak. Aku galau, karena merasa tak mengenal suara itu. Pikirku kalau itu rampok gimana? Sama sekali gak kepikir kalau itu hantu. Soale bolak balik manggilnya. Kulihat jarum jam udah setengah dua. 

Ketokan di pintu tambah kencang. Ya mau tak mau akhirnya aku keluar. Lampu ruang tamu tak langsung kunyalakan. Hape kupegang. Pikirku kalau orang di luar mencurigakan, aku akan langsung menelpun abang ipar yang tinggal di gang sebelah. 

Bersambung..Part 2

Related Posts

0 komentar: