Wednesday, September 9, 2020

CERPEN Cerita Misteri Santet Part 5

Aku terpaku melihat tingkah laku Paman. Mulutku menganga lebar menyaksikan semua yang terjadi, untunglah segera menutup mulut. Jika tidak, tentu sudah kemasukan nyamuk yang sedari tadi tersenyum dan dengan genitnya menghisap darahku.

Seketika aku teringat pesan sesepuh untuk menanggalkan busana. Tak apalah, yang penting aku bisa menyaksikan langsung. Biarlah hanya Tuhan dan nyamuk yang mengetahuinya.

Satu persatu Paman melepas pakaiannya, tentu saja dengan clingak clinguk terlebih dahulu. Kemudian dia menuju pohon kates rambey (sejenis pepaya yang hanya berbunga saja).

Sejurus kemudian, dia mulai menginjak apa yang ia bawa sebelumnya. Mulutnya komat-kamit entah mantra apa yang ia baca.

Dengan tangan yang mengarah ke atas, ia seakan menikmati sinar bulan purnama. Sungguh ini adalah pemandangan yang sangat menjijikkan.

Hampir saja aku tak sadarkan diri karenanya, untunglah masih bisa menahannya.

Dia kemudian berjalan ke arah musholla yang kebetulan berada tak jauh dari rumah. Masih terlihat jelas ia berjalan ke ruangan samping, dimana terdapat keranda mayat.

Tubuh itu masuk dan tidur di dalamnya. Bruukk... pintu musholla kemudian tertutup dengan sendirinya.

Merasa sudah aman, aku bergegas keluar dari persembunyian. Dengan mengendap-ngendap, ku langkahkan kaki menuju dapur.

"Darimana kamu, Nak?" tanya sosok yang sudah duduk di bibir ranjang kayu.
"Itu..Lila habis mengecek keadaan rumah, tadi kayaknya ada orang lewat,"ucapku sambil mencoba mencari alasan.
"Ya sudah, lain kali bangunin ibu ya. Nggak baik cewek keluar malam gini," jawab ibuku.

Lega rasanya ibu tak menanyakan hal lainnya. Segera aku menuju kamar dan tak hentinya memikirkan tentang kelakuan paman tadi.

Tak sabar rasanya menunggu pagi dan menuju rumah sesepuh. Akan ku ceritakan semuanya nanti.

***
Aku tersenyum lega sekembalinya dari rumah sesepuh. Beliau berjanji akan menuntaskan masalah ini.

Belum sampai rumah, terlihat warga sudah mengelilingi rumah paman. Mereka sudah membawa mercon atau petasan, sebab clurit dan sejenisnya tak mampu menembus kulit paman.

Duar...duar, terdengar suara mercon yang bersahutan. Anak-anak serta bibi lari terbirit-birit memecah kerumunan.

Segera aku menghampiri mereka dan menyuruh berlindung ke rumahku. Hanya Paman yang masih belum terlihat batang hidungnya.

Kemarahan warga sudah mulai memuncak. Berulang-kali mereka berteriak memanggil paman untuk segera keluar rumah.

Tak lama kemudian, paman keluar rumah dengan tubuh yang penuh dengan darah. Bibi yang sedari tadi mengintip, berlari lagi menghampiri paman.

"Maafkan suamiku pak, kami berjanji tak akan mengulanginya lagi," ucap Bibi sambil terus memeluk Paman.
"Ok, kami maafkan asal jangan sampai mengulanginya lagi," ucap salah satu dari mereka.

Satu persatu warga mulai membubarkan diri. Aku memang sangat benci paman, tapi disatu sisi tak tega rasanya melihat tubuhnya yang bersimbah darah.

Kami segera membawa paman menuju puskesmas terdekat. Untunglah nyawanya masih bisa tertolong.

***
Setahun sudah sejak kejadian itu, Paman nampaknya tak menggunakan ilmunya lagi. Perlahan ibu kondisinya makin membaik.

Warga juga mulai tenang, tak ada lagi terdengar isu orang sakit dan meninggal tidak wajar.

Namun dugaanku salah, Paman kembali berulah. Sasarannya bukan warga sekitar, melainkan keluarga sendiri.

Bibi mulai sakit-sakitan, hampir setiap hari ia berteriak karena tak tahan dengan penyakitnya.

Kini ia tinggal kulit membungkus tulang dengan perut besar. Tampak urat-urat biru di bagian perut, layaknya balon yang siap meletus.
Previous Post
Next Post

1 comment:

  1. bagus sekali cerita nya, memang masih ada tuh yang seperti ituu
    https://bit.ly/2QFug3Q

    ReplyDelete