"Yang lainya mana Ken?", tanyaku tanpa menaruh curiga. "Mereka masih jauh Kak. Ayo kita jalan duluan dan tetap semangat Kak", jawab Keni. Kata-kata Keni ini membuatku heran dan penasaran. Namun, aku hanya terdiam sambil terus berdoa memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. Akhirnya aku dan Keni menyusul rombongan terdepan. Tapi aku heran karena semak yang kami pangkas untuk dilewati, bisa tertutup kembali dengan sendirinya.
"Kita tunggu yang lainnya", kata Jawir yang sudah berhasil aku susul bersama Keni. Tak berapa lama, rombongan paling belakang telah sampai. "Bagaimana ini, jalur yang sudah dipangkas kok bisa tertutup kembali?", tanya Jawir ke Eko sebagai ketua rombongan. "Sudahlah, kita pangkas lagi di tempat yang tadi juga!", ujar Eko yang mencoba tetap tenang.
Seringnya terjadi keanehan, membuat kami harus berjalan beriringan dan jangan sampai terpisah jauh, karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara itu, sambil terus berdoa, tak sedetik pun pengawasanku lepas dari Keni yang kulihat ada kejanggalan pada dirinya. Karena kondisi yang tak memungkinkan dan hari pun menjelang sore, kembali kami membuka tenda di lokasi yang tidak sesuai rencana kami sebelumnya.
Hari keempat ini kami mengalami pendakian yang letihnya tiada tara. Ketika hari menjelang Maghrib, tiba-tiba kembali tubuh Keni dirasuki demit yang selalu mengikutinya. Keni meronta-ronta dan menendangi siapa saja yang dekat dengannya. Untunglah Jawir dan Sapri dengan sigap menelikung tubuh Keni yang kecil itu. Karena tenaga Keni berubah sangat kuat, maka para senior dan para catas pun ikut memeganginya.
Mereka membopong Keni ke tenda panitia yang lebih besar. Apa yang terjadi selanjutnya? Sangat sulit dibayangkan. Tubuh Keni terus meronta dan menendangi sambil terus mengoceh dalam bahasa Sunda. Tujuh tenaga lelaki tak sanggup menahannya. Setelah tak ada yang sanggup memegangginya, sebentar-bentar tubuh Keni terangkat ke atas dan melayang, seperti tertarik oleh kekuatan tak kasat mata.
Beberapa teman senior berusaha menahannya. Keni berteriak keras dan tentu saja membuat kami yang wanita menangis histeris. "Tolong... jangan bawa aku!", teriak Keni. Kenyataan yang tak masuk akal terus saja terjadi. Keni seperti mengalami penyiksaan. Sebentar tubuhnya melayang, namun sebentar kemudian jatuh terhempas ke tanah. Melihat kejadian ini, tak henti-hentinya kami mengumandangkan takbir.
Sedang aku sendiri tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Sampai lewat tengah malam, demit itu seolah terus menyiksanya, bahkan lebih sadis lagi. Kali ini, kemarahan sang iblis tak terbendung lagi. Wanita mana saja lengah, pasti akan diserang. Aneh sekali! Walaupun dalam penyiksaan yang tiada tara, tapi terkadang Keni tersadar bila demit itu keluar dari tubuhnya.
"Ema... awas dia mau masuk ke tubuh kamu!", teriak Keni memperingatkan Ema. Kesal dengan peringatan itu, membuat demit itu marah luar biasa. Kembali dia menyiksa Keni dengan ulahnya yang semakin menjadi-jadi. Mony yang sedari tadi sibuk dengan komat-kamitnya, spontan langsung mengumandangkan adzan pada jam setengah tiga pagi. Tiba-tiba keadaan menjadi hening karena suara adzan.
Kami yakin demit itu takut dengan adzan. Dia mungkin telah pergi meninggalkan tubuh Keni. Alhamdulillah, kami bersyukur karena Allah masih melindungi kami. Tapi, dugaan kami salah. Sepertinya demit itu sadar, kalau dia hanya dikerjai oleh adzan Mony. Dia kembali dengan ganas dan menyiksa Keni, bahkan kali ini tak luput Mony kena sedikit bogemnya. "He, kamu tidak takut dengan Allah?", bentak Jawir.
Bersambung...
0 komentar: