Tujuh Hari Terjebak di Kereta Api Gaib
Juli 2002.
Suara bising di stasiun mulai terdengar nyaring. Aku melirik jam tangan hitam dengan bahan kulit yang kukenakan di sebelah kiri. Sudah pukul lima sore, jam pulang kerja yang terkadang memang cukup sepi di stasion. Entah baru kali ini, atau memang aku yang baru naik kereta lagi setelah cukup lama tidak mengenakan armada darat satu ini.
Ada beberapa pedagang mulai mengasongkan jualannya, aku hanya membalas dengan sebuah senyuman dan tangan yang sedikit terangkat. Sebagai tanda menolak halus.
Aku masih menunggu dengan tenang, sampai gawaiku berbunyi—menandakan jika ada telepon masuk. Spontan tanganku menyelusup ke tas ransel bagian depan, mengambil ponsel yang sudah berdering, dengan deretan nomor telepon rumah.
"Pasti Ibu ...." Bergegas kutekan tombol hijau, menyimpan benda dengan layar monophonic itu di telinga. "Assalamualaikum, Bu!"
"Wa alaikumsallam. Apa kabarnya, Nak? Kok, gak ada ngabarin Ibu?" tanya seseorang yang begitu kurindukan beberapa minggu ini.
Aku tersenyum, meski Ibu tidak bisa melihatnya. "Baik, Bu. Iya, Bella sibuk banget, sampe gak bisa pegang HP. Pulang pun beberapa hari ini malem terus. Ini baru bisa pulang agak siang, Bu," jelasku, sebisa mungkin menghibur Ibu yang sepertinya khawatir.
"Oalah. Kamu pulang naik apa?"
"Kebetulan kalo siang gini pake kereta, Bu. Ibu sudah makan?" Ah ... aku begitu merindukan Ibu di kampung. Seandainya saja jarak kami dekat, mungkin aku tidak perlu menyewa kosan seperti ini.
"Sudah, Sayang. Bell, beberapa hari ini ibu gelisah, kamu jaga diri baik-baik, ya. Jangan tinggalkan salat, selalu berdoa di mana pun kamu berada."
Aku bergeming. Mendengar pepatah Ibu yang selalu membuat perasaan tenang. Meski aku merasa sudah dewasa, tapi perlakuan beliau masih menganggapku seperti anak kecil yang harus dilindungi.
"Iya, Bu. Insya Allah Bella pasti baik-baik aja. Ibu doakan saja, ya." Aku menoleh ke arah suara yang berdengung. Sepertinya kereta tujuanku sudah tiba.
"Bu, Bella mau pulang dulu, ya. Nanti Bella kabari. Assalamualaikum ...."
"Hati-hati, ya. Wa alaikumsallam."
Telepon sudah kumatikan, dan buru-buru memasukannya kembali ke tas. Lantas segera berdiri dan menunggu kereta yang berhenti. Setelah dirasa aman, satu persatu orang memasuki gerbong. Begitupula denganku.
Aku mencari tempat sesuai yang ada di tiket, lalu segera duduk untuk menunggu kereta berangkat. Rasanya nyaman sekali, mengingat kaki begitu pegal akibat seharian bekerja.
Sebagai buruh pabrik memang membutuhkan fisik yang kuat. Meski dituntut harus lembur, jawaban siap—mau tidak mau—tentu sudah jadi tanggung jawab.
Aku menghela napas, menyandarkan punggung pada kursi, menatap pada jendela. Aneh. Itu kesan pertama, saat mataku tertuju pada seorang wanita berbaju putih yang sedang duduk di seberang sana. Pakaiannya seperti basah, tanpa alas kaki. Wajahnya tak terlihat, karena tertutup oleh rambut yang juga basah.
Ah, mungkin orang gila. Hanya itu yang terlintas dalam pikiranku. Pandanganku masih belum bisa terlepas dari sosok itu, sampai seseorang duduk di sebelahku sembari berkata, "Permisi!"
Aku terperanjat, lalu mempersilakan laki-laki itu duduk di sebelahku. Mungkin, jika ditafsir umurnya tidak jauh denganku.
Yah, aku kembali ingat pada wanita tadi. Segera aku menoleh lagi ke arah luar, mencari di mana keberadaannya. Hasilnya hilang. Apa memang bisa secepat itu?
"Kenapa, Neng?" Pria di sebelahku menegur.
Aku membalasnya dengan sedikit senyuman. "Enggak, A. Tadi di sana—"
"Kalo lagi di kereta dan menuju maghrib gini, banyak istigfar Neng. Apa yang dilihat, jangan terlalu diperhatikan. Takutnya, malah kenapa-kenapa," jelasnya. Entah kenapa, ucapan pria itu justru membuat bulu kudukku merinding seketika.
Aku hanya mengangguk paham, lalu mencari posisi teryaman untuk duduk. Aku memperhatikan ke arah depan, sedikit ada yang berbeda. Kenapa kali ini suasana terasa sangat hening.
Laju kereta mulai terasa, aku bersandar sambil menatap jalanan yang dilalui. Terlihat langit mulai berwarna kuning, menandakan matahari akan segera tenggelam.
Aku menoleh ke arah pria di sebelahku, ia seperti sedang mengutak-ngatik walkmannya, sambil sesekali menggerakan kepala.
Entah efek kelelahan, mataku terasa berat. Sampai beberapa kali menguap, dan mata sulit sekali untuk berada dalam kondisi normal. Karena perjalanan masih jauh, mungkin lebih baik aku beristirahat sejenak.
****
Aku mengerejap, terbangun dari istirahat yang dirasa sudah cukup. Karena pandangan masih belum sepenuhnya jelas, beberapa kali aku mengucek mata.
Aku masih dalam kereta yang melaju, tapi ... kenapa hanya aku seorang diri? Ke mana penumpang yang lain?
Situasi ini membuatku cukup kaget, bergegas aku meraih tas ransel dan mengaitkannya di punggung. Aku masih berusaha mengingat kejadian sebelum tidur, karena memang lumayan ada beberapa penumpang di dalam kereta ini.
Mataku mengarah pada jendela, suasana sudah gelap di luar sana. Lantas, aku melirik jam tangan, pikiranku bertambah tak menentu. Jarum jam menunjukan pukul 12 dini hari. Selama ini kah aku di kereta? Kenapa tidak ada yang membangunkan?
Pikiranku melayang pada cerita seorang teman ketika akan pulang tadi ....
"Kamu naik kereta, Bell?" ucap Indah saat kami sedang membereskan tas di tempat penyimpanan.
"Iya. Biar bisa istirahat di jalan," jawabku sekenanya.
"Gak takut emang? Aku suka inget tragedi tahun 1993. Waktu itu Ibu sama Ayah ngajakin aku ngelihat kereta yang udah hangus karena kecelakaan."
"Hus ... suka ke mana aja!" Aku mengarahkan tangan dan setengah mengusap wajah sahabatku itu.
"Beneran, Bell. Sejak saat itu, suka ada kejadian yang berhubungan dengan kereta api gaib. Makanya aku gak mau naik kereta." Ia masih saja dengan pendiriannya.
Aku hanya menggeleng pelan, sembari memakai tas gendong yang isinya tak terlalu banyak. "Ngaco, udah ah. Aku pulang dulu!"
Apa mungkin, aku berada di kereta api yang Indah jelaskan tadi. Aku menepuk pipi, berharap ini hanyalah mimpi. Namun, jika itu tidur ... kenapa aku tidak cepat bangun?
Dengan perasaan yang tidak menentu, aku melangkah pelan. Berharap di gerbong yang lain ada penumpang, atau setidaknya ada perpindahan yang mengharuskan kita berada di gerbong lain.
Tanganku bergetar hebat, mengusap peluh yang mulai membasahi wajah. Aku seperti terjebak pada situasi aneh yang tidak masuk akal. Langkah demi langkah pun sudah mulai dipercepat.
Kakiku mulai berhenti di pintu pembatas gerbong. Sedikit menghela napas lega, karena ternyata ada beberapa kursi yang terisi. Aku melangkah kecil, menghampiri seseorang yang tengah menyandarkan kepala pada jendela.
Apa hanya perasaan, atau memang di sini tercium bau gosong? Tidak ... aku berusaha menepis pikiran gila tersebut. Setidaknya kereta ini tidak semenyeramkan itu, seperti mitos yang beredar.
Ada rasa ragu menyelimuti. Aku masih berdiri di depan wanita yang tengah bersandar itu. Entah ia tertidur, atau hanya sekadar melamun.
"Pe-permisi. Boleh saya duduk di sini?" tanyaku terbata.
Hening. Bahkan tanganku refleks mengusap tengkung, di mana suasana terasa sangat dingin. Gelisah. Hanya itu yang dapat menggambarkan suasana hati saat ini.
"Bu ... saya boleh ikut duduk di sini?"
Sandaran itu mulai bergeser, ia seperti membetulkan lehernya dan berusaha menoleh padaku. Wajahnya tertutup rambut, aku kesulitan untuk menangkap ekspresi wajahnya. Beberapa kali wanita itu menggerakan lehernya, sampai ia benar-benar memposisikan diri agar kami bisa saling menatap.
Aku memundurkan langkah. Saat wajah kesedihan itu kini mengarah padaku. Bekas luka bakar di leher dan sebelah wajah, membuatku membeku di tempat!
"To ... tolong." Tangan hitamnya terulur perlahan, seolah memberi tanda agar aku menghampirinya.
Tolong aku!
Bersambung ....
0 komentar: