Friday, July 24, 2020

CERPEN 7 Hari Terjebak DiKereta Api Gaib Part 2

Tujuh Hari Terjebak di Kereta Api Gaib

"Hey! Ngelamun lagi ...." 

Aku terperanjat saat Indah menepuk bahuku cukup kencang. Itu hal yang paling menyebalkan rasanya. Apalagi semalam aku sulit tidur, tiap memejamkan mata, aku berasa ada di situasi dalam kereta. 

Entah, kejadian kemarin di kereta api itu berasa nyata. Padahal, itu hanyalah mimpi saat beristirahat sejenak dalam perjalanan. Namun, semua seperti bayang-bayang yang sulit terlupakan. 

"Kamu kenapa, Bell?" tanya Indah saat aku tengah mengaduk minuman di jam istirahat kerja. 

Aku menghela napas, lalu menggeleng pelan sebagai sebuah jawaban. Ia terlihat mengrenyit, matanya seolah memperhatikan sesuatu di wajahku. "Ada yang aneh?" Sekarang aku yang balik bertanya. 

"Muka kamu pucet banget. Sakit?" Indah menatapku dengan serius. 

Lagi. Aku menggeleng pelan. Mungkin saja ini efek ketakutan kemarin, mebuatku tidak bisa tidur dan berimbas pada mimik wajah. 

Aku membetulkan posisi duduk. "Ndah, emang kereta gaib itu ada, ya?" tanyaku penasaran. 

Indah meneguk jus dalam gelas, setelah itu mengangguk sembari menghapus bekas minuman di mulutnya. "Itu kisah nyata, Bell. Rel kereta itu rentan dengan hantu-hantu penasaran karena kecelakaan. Apalagi kan Indonesia pernah mengalami beberapa kecelakaan kereta yang bikin gempar seluruh dunia!" jelasnya berapi-api. 

"Sok tahu!" ledekku, lantas menyeruput teh manis dalam gelas yang sudah mulai dingin. 

"Eh, ini nyata. Orang yang dibawa sama kereta api gaib, sebenarnya gak naik kereta. Justru ia lagi jalan kaki di rel. Ada dua kemungkinan, dia kembali, atau mati karena tertabrak kereta nyata!" 

Entah hanya perasaanku saja, atau suasana di sini terasa dingin. Saat Indah bercerita dengan semangat, tengkukku tiba-tiba merinding. Ya ... mungkin aku terlalu terbawa suasana. 

"Kamu kenapa, sih, sebenernya? Kemarin biasa aja, sekarang kaya yang penasaran!" tukas Indah, dibarengi dengan kekehan yang seolah meledek. 

"Kemarin waktu di kereta aku mimpi. Kereta berjalan, tapi gak ada orang sama sekali. Itu kaya nyata banget. Untungnya dibangunin sama orang yang duduk di sebelah aku, Ndah. Cuma sebelum mimpi, aku lihat sosok wanita aneh di stasiun." 

Ia bergeming sejenak, seperti ada hal yang ia pikirkan. "Terus, nanti kamu pulang naik apa?" 

Aku menatapnya, lantas tertawa karena ekspresi serius wanita di depanku yang membuat Indah tampak khawatir. "Naik keretalah, orang itu cuma mimpi. Ngapain juga takut!" 

Indah mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik, "Ini serius, Bell. Mitosnya, calon yang akan terjebak pasti dilihatin hal gaib dulu."

Aku menautkan alis, lalu mengusap wajah Indah yang terlihat tegang. "Takhayul! Udah ah, kita kerja lagi, yuk. Masa mau gibahin setan terus. Kasian kupingnya panas entar." 

"Suka sompral kalo ngomong. Bahaya tau!" teriak Indah dengan raut wajah sebal. Sementara aku hanya tertawa geli. 

Toh, semua makhluk hidup itu sudah ditakdirkan untuk berdampingan. Dunia nyata dengan dunia lain itu ada pembatasnya masing-masing. Semakin dipikirkan, hal ini justru menganggu. Kenapa aku harus takut? 

Aku adalah orang yang tidak sepenuhnya percaya dengan mitos, karena hal tersebut belum tentu nyata adanya. Buat apa kita percaya pada sesuatu yang dibilang 'katanya'. Belum tentu hal itu ada, bukan? 

***

Aku sudah sampai di stasiun dan sialnya langit sudah gelap. Biasanya, jika pulang malam aku diantar oleh teman, tapi kebetulan kami beda jam kerja. Mau tidak mau, kereta menjadi pilihan karena waktu perjalanan lebih efisien. 

Suasana terasa begitu hening. Aku melirik jam di tangan yang sudah menunjukan jam 21.00. Sementara kedatangan sampai keberangkatan harus menunggu lima menit lagi. 

Aku masih berdiri di depan rel, menunggu kedatangan kereta. Akan tetapi, sejak tadi di seberang sana terlihat sosok kemarin yang aku lihat dari jendela. Ia tengah duduk di kursi tunggu dengan keadaan yang sama. Basah  dan tanpa alas kaki. 

Semakin memperhatikannya, bulu kuduk terasa merinding. Aku sudah berusaha untuk mengalihkan perhatian dengan memainkan ponsel. Bahkan, aku menelepon Indah agar ada teman mengobrol. Sayangnya, tidak diangkat. 

Segera aku mengetik pesan. [Ndah, udah sampai rumah? Angkat telepon aku ya. Aku butuh temen!]

Hening. Aku berharap ada notifikasi, tapi malah suasana semakin sunyi. Jemariku mulai mengetuk-ngetuk paha, menandakan ada rasa cemas yang berlebihan. 

Sekali lagi. [Ndah belum pulang ya?]

Setelah tanda terkirim muncul, suara kereta pun akhirnya terdengar nyaring. Aku menoleh ke arah lampu yang menyorot, tapi sayang tertutup sedikit oleh kabut malam.

 Benda panjang  dengan banyak gerbong itu akhirnya sampai di hadapanku. Ini gila! Sudah beberapa menit di sini, kenapa tidak ada satu orang pun terlihat melintas? 

Setidaknya kereta yang kini berhenti, menjadi pembatas antara aku dan sosok wanita misterius di seberang sana.  Bergegas aku masuk, seketika terdiam—menelisik para penumpang yang duduk di bangku dengan jarak terpisah-pisah. 

Aku menghela napas, setidaknya ada perasaan lega karena tidak sendiri di tempat ini. Kakiku mulai memaksa untuk masuk, melewati wajah-wajah dingin yang sejak tadi bergeming. 

Entah kenapa, hatiku seolah tidak ingin masuk semakin dalam, tapi ada hawa aneh yang mendorongku untuk tetap pulang menggunakan armada ini. Semoga  ini hanya perasaan. 

Aku duduk di bangku bernomor 13, perlahan melepas tas dan memeluknya erat. Untuk menenangkan diri dari hawa aneh ini, ponsel menjadi benda yang paling aku andalkan. 

[Indah, aku ada di kereta, tapi kenapa aku merasa aneh ya?] 

Setelah pesan terkirim, tiba-tiba sinyal di ponselku hilang seketika. Biasanya bertuliskan merk sim card, tapi sekarang hanya ada gambar deretan baterai saja. 

Keringatku mulai menetes, saat kereta sudah membunyikan tanda keberangkatan. Namun, sebisa mungkin aku berusaha tenang. 

Di tengah perasaan yang kalut, suasana semakin aneh saat tidak ada interaksi mencolok di kereta ini. Aku yang masih sibuk dengan sinyal ponsel, harus kembali merasa gusar karena seseorang yang tengah berjalan di depan sana.

Ia berjalan dengan sangat lambat, sementara laju kereta sudah semakin kencang. Wanita itu ... sosok misterius yang dua hari ini selalu muncul di hadapanku dengan tingkah anehnya. Seperti sekarang, semakin mendekat, terlihat tetesan air dari rambutnya yang tergerai ke depan. 

Langkahnya terhenti tepat sejajar dengan bangku yang kududuki. Ekor mataku menangkap genangan air yang menetes dari pakaiannya. Kaki itu begitu pucat, bahkan seperti mayat yang kehabisan darah. 

Aku hanya berharap, wanita itu tidak duduk bersebelahan denganku. Namun, ternyata dugaanku salah. Ia membelokan badan dan mengambil kursi di mana tempat itu menjadi hal yang paling aku takutkan sedari tadi. 

Tubuhku mulai gemetar, bahkan jika aku tidak mengontrol rasa dalam dada, ingin aku berteriak dan menangis sekencang mungkin. Bagaimana tidak, kini sosok misterius itu berjarak sangat dekat dengan tubuhku. Sialnya, aku bisa mencium aroma bangkai yang begitu menyengat. 

Siapa sebenarnya dia? 

Aku duduk dengan perasaan tidak nyaman, bahkan tubuhku semakin ditempelkan pada dinding kereta. Berusaha untuk tidak menoleh ke arah samping. 

Jantungku semakin berdetak, kala wanita itu bersenandung lirih. Awalnya, rintihan itu terdengar kecil. Lama-kelamaan, berubah menjadi tangisan yang membuat bulu kuduk merinding. 

"Astagfirullah, ya Allah. Engkau Maha Penolong," ucapku dengan air mata yang sudah berderai. 

Sudut mataku justru menangkap hal yang membuatku kembali menangis. Tangan itu ... tangan pucat basah, bergerak perlahan ke arahku dan nyaris akan menyentuh. 

🌱🌱🌱🌱 

Spoiler untuk part selanjutnya

05 Juli 2002 

Polisi menemukan jasad wanita di ujung rel  kereta api. Disinyalir mayat itu adalah korban kecelakaan dari kereta pada jam malam. 

Siapa dia? 

Bersambung ....
Previous Post
Next Post

0 komentar: