Tujuh Hari Terjebak di Kereta Api Gaib
"Gimana, Ndah? Sudah ada kabar?" tanya seseorang di seberang sana dengan suara parau. Aku hanya menghela napas, tak tega rasanya memberitahukan keadaan yang sebenarnya.
Tenggorokanku terasa begitu kering. Namun, Bu Laras harus tahu kabar yang aku dapatkan kemarin. "Belum, Bu. Sabar dulu ya. Indah masih nunggu kelanjutannya dari pihak kepolisian," jawabku berusaha tegar. Pada kenyataannya, pipi sudah terasa panas.
"Astagfirullah. Ke mana sebenarnya kamu, Nak." Ada suara tangis di sana, membuat hatiku semakin cemas.
"Indah akan tetap cari, Bu. Pasti polisi juga sudah bergerak cepat. Insya Allah, Bella gak akan kenapa-kenapa. Kita doa kan ya, Bu! Kalo gitu, Ibu istirahat, jangan banyak pikiran. Indah mau cari Bella lagi. Assalamualaikum ...."
Tangis Bu Laras mulai terdengar mereda. "Terima kasih, ya, Ndah. Semoga ada kabar baik. Jaga diri kamu. Wa alaikumsallam."
Aku bergegas menutup sambungan telepon. Bukan tak ingin menemani Bu Laras bercerita panjang lebar, aku hanya takut kami berdua menjadi sedih dan malah tidak bisa menguatkan satu sama lain. Itu akan menghambat dalam mencari keberadaan Bella.
Rasa menyesal kian merasuk, saat SMS terakhir Bella mengatakan ia butuh teman. Dalam hati aku menyalahkan, kenapa waktu itu harus ketiduran? Mungkin aku bisa tahu mengapa saat itu Bella melakukan panggilan dan SMS beberapa kali.
Baru saja aku menyimpan HP di atas meja, benda monoponic itu kembali berdering. Bergegas aku meraihnya, berharap ada kabar baik dari pihak pencarian.
"Arif ...?"
Aku segera memencet tombol hijau dan menyapa seseorang di sana. "Iya, Rif. Kenapa?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Ndah, udah denger kabar belum? Kalo di stasiun ditemukan mayat wanita tadi subuh. Siapa tau itu ...."
"Hush! Daripada menduga-duga, sekarang antar aku ke kantor polisi. Jemput aku ya, Rif!" pintaku. Aku tidak sanggup, kalau mendengar pemikiran buruk tentang Bella.
Ya ... aku terlalu yakin jika Bella—gadis yang menjadi sahabatku—sejak merantau ke kota—masih dalam keadaan sehat walafiat. Mungkin saja dia ingin sendiri.
"Oke, kamu siap-siapa dulu kalo gitu."
Aku hanya mengangguk sembari menutup telepon, meski Arif tidak tahu akan hal itu. Kini air mata yang sedari tadi tertahan, akhirnya luruh juga di pipiku. Bella baru saja hilang selama 2 hari, masih ada kemungkinan untuk dicari.
Bergegas aku meraih tas selempang kecil, merapikan jilbab dan berjalan dengan tergesa keluar rumah. Dari rumah Arif ke sini jaraknya sangat dekat, aku yakin tidak perlu waktu lama untuk menunggu.
Benar saja, pria berambut keriting dengan kacamatanya yang tebal itu sudah sampai di depan gerbang rumah. Ia melambaikan tangannya. "Ayok, cepetan!"
Aku segera membuka gerbang kecil, sementara Arif menyerahkan helmnya padaku. Tak perlu berlama-lama, bergegas kupakai dan langsung menaiki motor vespa tersebut.
Jalananan terasa panas dan sudah mulai macet. Maklum saja ini weekend, pasti banyak orang memilih keluar. Jantungku sudah semakin berpacu, gelisah memikirkan kemungkinan yang terjadi nanti kepada Bella. Meski dalam hati meneriakkan, 'itu bukan Bella!' Namun, tetap saja ada rasa khawatir yang teramat sangat.
Tiga puluh menit sudah waktu yang kami tempuh, aku yang dihinggapi rasa pensaran langsung turun saat Vespa milik Arif berhenti di depan kantor polosi—dekat dengan stasiun. Bahkan, saking terburu-burunya helm pun terjatuh. Ah ... biarkan saja, mungkin Arif yang akan membantu mengambil.
"Pak ... pak! Apa benar tadi pagi ada mayat perempuan di stasiun? Itu bukan teman saya, kan, Pak?" ucapku dengan sangat cepat, berharap polisi bergegas menjawab.
"Sabar, Mbak. Duduk dulu!"
Arif menyentuh bahuku, lalu memberi sebuah anggukan, sebagai tanda agar aku bersikap tenang. Aku pun menuruti apa yang dipinta Pak Polisi, lantas duduk di kursi tamu yang tersedia di ruangan berukuran kecil tersebut.
"Mbak yang tenang, ya. Memang, kami menemukan jasad perempuan tanpa identitas subuh tadi. Namun, setelah mencocokan dengan ciri-ciri gadis bernama Bella, itu tidak sama," jelasnya, membuat perasaanku lega seketika.
Akhirnya setelah berbicang cukup panjang mengenai tragedi yang terjadi, aku dan Arif sepakat untuk pulang. "Pak, saya serahkan semuanya pada Bapak, ya. Semoga teman saya cepat ketemu!" ucapku dengan sedikit memelas dan penuh harapan.
"Baik, Mbak. Kami akan lakukan yang terbaik."
Aku hanya mengangguk. Setelah berpamitan, aku pun keluar dari ruangan dengan hati yang tidak terlalu gundah seperti tadi. Sementara Arif berjalan duluan untuk menghidupkan motor biru kesayangannya.
Entah ide dari mana, tiba-tiba aku ingin sekali mendatangi stasiun malam ini, karena pasti jika siang seperti ini akan banyak orang dan sulit menemukan jejak Bella.
"Rif, kamu mau bantuin aku gak?" tanyaku, sambil meraih helm yang diberikan oleh pria di hadapanku.
"Bantuin apa, Ndah?" Arif yang sedang sibut mengaitkan helm, menatapku dengan tatapan bingung.
"Nanti malam anter ke stasiun, yuk. Kita cari Bella."
Terlihat Alis pria berbadan cungkring itu saling bertautan. "Ngapain, kan udah ada polisi?"
Aku berdecak sebal. "Udah gak usah banyak tanya, pokoknya bantuin, ya! Jemput di rumah jam 10 malam," tukasku tanpa basa-basi. Semoga nanti malam ada titik terang, atau setidaknya aku menumukan hal yang bersangkutan dengan Bella.
🌱🌱🌱🌱
"Gila, Rif. Ini mah serem banget tau!"
Arif mengacuhkan pernyataan dariku. Stasiun ini benar-benar seperti tempat mati, padahal baru jam 10 malam. Suasana begitu hening, bahkan hanya ada suara binatang kecil saring bersahutan.
Aku mengarahkan pandangan ke sekitar, lalu melangkah pelan menyusuri tempat ini satu demi satu. Untung saja pria cungkering yang aku bawa, mempunyai jiwa pemberani yang begitu tinggi. Dia sibuk berjalan di depan, sementara aku mencengkeram jaketnya dari belakang.
"Apaan, sih, Ndah!" teriaknya saat aku selalu berjalan menabrak tubuhnya yang tinggi.
"Serem, Rif!" ungkapku dengan suara yang begitu pelan.
"Makanya, jangan sok pemberani. Penakut, tapi malah bertingkah!"
Aku berdecak sebal, bukannya menenangkan, tapi dia malah mengomeliku dengan nada ketus. Namun, lama-kelamaan perasaan takut itu mulai sedikit pudar. Kini, aku mulai fokus memerhatikan sudut demi sudut tempat ini.
Langkahku terhenti seketika, lantas menutup mata sejenak. Entah kenapa aku merasa kaki kanan ada yang memegang. Jantung pun berpacu begitu cepat, berharap ini hanya sebuah ilusi dari rasa cemas dan takut.
"Ndah, jalannya cepetan!" Arif sudah melambaikan tangannya di depan sana, tapi aku masih bergeming di tempat.
Mungkin pria berkacamata itu sudah mulai kesal, ia langsung manarik tanganku. Aku yang memaksa untuk melangkah, akhirnya bisa menggerakan kaki, meski dengan drama seperti tersandung. Ya ... merasa menginjak sesuatu.
'Astagfirullah ....' Beberapa kalimat tadi tercetus dalam hati. Kini kakiku tetap mengikuti langkah Arif, bahkan kami sudah berada di depan bangkai kereta yang permukaannya sudah berkarat.
"Mau masuk?" tanya Arif. Aku menatapnya ragu, mencoba memberanikan diri untuk memilih sesuatu yang tepat.
Akhirnya aku mengangguk mantap, berharap ada sesuatu di dalam sana yang bisa membuat kami pulang tanpa sia-sia. Bergegas aku dan Arif masuk, berbekal senter yang ternyata sudah dipersiapkan oleh teman dekatku ini.
Tangaku tak lepas mendekap salah satu tangan Arif, menulusuri gerbong bekas ini dengan langkah yang sangat pelan. Sementara Arif sibuk mengarahkan senter pada setiap sudut.
Kosong, lembap dan bau kotoran tikus, membuat tempat ini sangat beraura aneh. Aku yang sudah tidak tahan dengan hawa di sini, memutuskan untuk berhenti dari gerbong. Padahal, kami baru saja masuk beberapa langkah.
"Rif, kita keluar aja, yuk," ajakku dengan memelas.
Entah hanya perasaaku saja, atau memang banyak hal gaib di tempat ini. Aku merasakan ada angin berembus tepat di telingaku, yang akhirnya meruntuhkan keberanian untuk mencari Bella.
"Ya sudah, mungkin kita cari besok siang aja ya. Biar lebih aman," jelas Arif sambil merangkul bahuku untuk keluar dari tempat gelap ini.
Aku yang sudah sangat lelah, akhirnya memilih untuk cepat kaluar dari tempat ini. Mengobrol dengan Arif tentang dugaan-dugaan mengapa Bella bisa hilang. Menurutnya, Bella hanya ke rumah teman, tapi tebakanku, dia dibawa oleh kereta misterius yang menjadi mitos tempat ini.
"Gak mungkin, Rif. Stasiun ini terkenal dengan mitosnya, loh. Kamu gak pernah tau, sih, sejarahnya!" Aku berapi-api menebak apa yang terjadi.
"Ndah ... Ndah. I-itu!"
"Apaan, sih?" Aku mengikuti arah telunjuk Arif yang diacungkan ke sebuah tempat duduk di ujung sana.
Tampak seseorang mirip Bella tengah duduk di kursi tunggu. Aku mengucek mata, memastikan jika itu bukan sekedar halusinasi kami. Pasalnya, sudah tiga kali kami melewati tempat ini.
Entah keberanian dari mana, aku menarik tangan Arif untuk menghampiri sosok itu, tapi ternyata ....
"Bella!" Aku berteriak saat sudah sampai di depan gadis yang kami cari keberadaannya. "Benar, kan, kamu Bella?"
Gadis itu hanya bergeming, menatap lurus tanpa menoleh. Aku tidak peduli, bergegas aku memeluknya dan menunpahkan kerinduan. Bella masih memakai pakaian saat terakhir kami bertemu.
Aku melepas pelukan, memeriksa badannya dari mulai wajah sampai tangan, berharap tidak ada yang terluka.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu ketemu juga Bell," ucap Arif ikut merayakan pertemuan kami.
Akhirnya aku memutuskan menelepon polisi, memberi kabar bahwa Bella sudah berhasil kami temukan. Sambil menunggu kedatangan pihak berwajib, aku dan Arif mencoba mengajak Bella berkomunikasi.
"Bell, kamu ke mana aja? Kasian Ibu di kampung nanyain kabar kamu terus. Kamu ada masalah? Harusnya cerita, jangan malah kabur kaya gini!" cecarku, sambil mengusap bahu Bella pelan.
Gadis berambut panjang itu masih tetap diam dengan tatapan kosongnya. Aku memerhatikan, wajah putih itu tampak begitu pucat dengan mata panda yang terlihat menghitam.
Akhirnya polisi pun datang, mengintrogasi kami tentang penemuan Bella dan kenapa malam-malam ada di tempat ini. Untung saja tidak dipermasalahkan terlalu jauh, dan Bella pun diantar ke kampung kelahirannya yaitu Bandung. Aku ikut serta mengantar, berharap Ibu Laras bahagia dengan datangnya putri kesayangan beliau.
Next part ....
"Bella!"
Aku melihat gadis itu memakan daging mentah. Siapa yang aku bawa ke rumah?
Bersambung ....
0 komentar: