Tujuh Hari Terjebak di Kereta Api Gaib
Aku turut mengantar Bella ke Bandung. Mungkin akan menginap beberapa hari, dan mengambil cuti. Semua sudah dibicarakan dengan atasan pabrik, ia memberikan waktu 2 hari untuk menyelesaikan urusan ini.
Tangis haru pecah, saat Bu Laras menyambut kedatangan Bella. Pelukan erat, bahkan ciuman rindu tumpah saat itu juga. Namun, berbeda dengan Bella ....
Gadis yang berpenampilan agak tomboy itu, hanya bergeming. Bahkan, pertanyaan Bu Laras yang beberapa kali diajukan, seolah hanya angin lalu.
Aku terus menatap manik hitam ini. Entah kenapa, kosong. Kantung matanya menghitam, seperti beberapa hari terjaga. Ya, sudah tiga hari Bella hilang, dan ini adalah hari keempat.
Bu Laras memintaku untuk menemani Bella di kamar, sementara ia akan memasak untuk menyambut kedatangan putri semata wayanngnya itu. Aku hanya mengiyakan. Mungkin saja ada keterangan yang bisa diambil saat kami sedang berdua.
"Bell, kamu dari mana aja?" tanyaku, duduk persis di sampingnya. Ia setengah berbaring di ranjang. Tubuhnya bersandar pada bantal, mata itu menatap langit-langit kamar.
"Maaf, kalo kamu marah sama aku karena gak angkat telepon. Sesudah mandi, aku ketiduran. Gak ada maksud untuk—" Ucapanku terputus, saat mata Bella beralih menatapku dengan tajam.
Seketika suasana berubah menjadi sangat hening. Bahkan, aku merasa ada hawa aneh saat manik itu menatap tanpa berkedip. Aku merasa, ada yang aneh dengan diri Bella.
"Bell, kamu gak apa-apa, kan?" tanyaku ragu.
Brak!
"Astagfirullah hal adzim!" Aku terperanjat, lalu berdiri dan menoleh ke arah sumber suara. Benda berbentuk kotak itu hancur. Ya, bingkai dengan foto Bella tengah tersenyum tiba-tiba jatuh dan pecah. Padahal tidak ada angin sama sekali.
"Kenapa, Neng?" Tiba-tiba Bu Laras masuk. "Astagfirullah, awas kena pecahan kaca. Hati-hati," jawabnya, bergegas pergi dan membawa sapu serta pengki.
Sembari membantu Bu Laras, mataku sesekali mencuri pandang ke arah Bella. Ia kembali menatap langit-langit kamar dengan mata yang tidak berkedip. Persis seperti mayat hidup.
Setelah selesai membersihkan semuanya, aku segera keluar dari kamar Bella dan mengikuti langkah Ibu.
"Bu, Indah mau bicara sesuatu," kataku, duduk di meja makan melihat Bu Laras yang kembali memotong sayuran.
"Kenapa, Neng?"
Aku menghela napas. Berharap ucapanku tidak membuat ibunya Bella itu tersinggung. "Itu, Bu. Kayanya ada yang aneh dari Bella. Apa gak coba bawa ustaz ke rumah?"
"Memangnya apa yang aneh dari Bella?"
"Dia gak pernah bicara, Bu. Tatapannya juga kaya kosong." Aku bercerita sesuai fakta yang ada.
"Mungkin Bella lagi cape, jadi belum bisa bercerita banyak."
Jawaban Bu Laras membuatku bergeming seketika. Sepertinya benar, aku terlalu berlebihan di sini. Apalagi saat Bella menghilang, aku selalu berpikir jika ia dibawa oleh hantu-hantu di kereta apai gaib.
Bella terlihat keluar dari kamarnya, aku menoleh dan tersenyum, ternyata pikiranku salah. Nyatanya gadis itu sudah mulai mau berbaur dengan kami. Siapa tahu lelahnya sudah mulai hilang.
"Bell—" Gadis itu menatap lurus. Bahkan ia tak menoleh saat melewatiku. Ia berdiri di hadapan ibunya. Aku yang tengah duduk segera turun, lalu menghampiri dan berdiri di sampingnya.
"Bella, kenapa gak istirahat aja. Ibu lagi masakin sop ayam kesukaan kamu. Nanti kita makan sama-sama, ya, Nak," ucap Bu Laras dengan antusias.
Sementara aku masih memerhatikan wajah Bella yang begitu lurus tanpa eskpresi. Ia seperti menatap ayam mentan dalam mangkuk yang sudah dipotong jadi beberapa bagian.
Tangannya meraih mangkuk itu, lantas ditatapnya dalam. Aku dan Bu Laras saling padang, melihat tingkah aneh dari gadis berambut panjang itu.
"Kamu mau makan?" tanya Bu Laras, masih memasang senyum ramahnya.
Entah apa yang ada di pikiran Bella. Tingkahnya membuat aku dan Bu Laras menjerit seketika. Dengan lahap ia menyantap ayam dalam mangkuk tanpa rasa jijik dan risi.
"Bella!" teriakku dan Ibu secara bersamaan.
Bu Laras mencoba meraih mangkuk yang ada di tangan anaknya, tapi sepertinya genggaman itu sangat kuat. Bahkan, tangan yang satunya tak berhenti memasukan bahan anyir itu.
"Bella, jangan, Nak!" teriak Bu Laras, tapi nyatanya tenaga wanita yang sudah berumur itu kalah dengan anak gadisnya.
Bella mendorong tubuh mungil Bu Laras, sampai ia terjatuh dan tersungkur di lantai. Aku meninggalkan Bella, lalu mencoba membantu Bu Laras untuk bangkit.
Mungkin, untuk kali ini aku menahan Ibu untuk tidak melarang Bella. Aku yakin, secara fisik dia adalah Bella, tapi sukmanya bukan gadis itu.
🌱🌱🌱
Harusnya, aku pulang sore ini, tapi entah kenapa kejadian tadi siang membuatku khawatir. Aku takut, jika Bu Laras harus menghadapi tingkah aneh Bella sendirian. Bagaimana jika Bella malah mencelakai ibunya?
Akhirnya aku memutuskan untuk menginap, mungkin aku pulang besok pagi atau sore saja.
Aku berjalan ke arah teras, terlihat di sana Ibu sedang duduk di kursi teras. Jika ditebak, pasti Bu Laras masih memikirkan kejadian tadi siang.
"Bu, lagi apa?" tanyaku, membuat Bu Laras sedikit terperanjat.
"Neng Indah. Gak apa-apa, ibu cuma ...." Kalimatnya menggantung begitu saja. Tanpa dijelaskan, aku tahu arah pemikiran Bu Laras.
Bergegas aku duduk di kursi. Bersebelahan dengan Bu Laras, jarak kami terskat meja kecil. "Bu, Indah mau bicara serius," ucapku menekan sedikit kata di belakangnya.
Bu Laras sedikit tersenyum, ia mengangguk.
"Lebih baik, kita panggil ustaz. Perilaku Bella sudah terlihat aneh Bu. Indah takut, jika yang kita bawa ke rumah bukan Bella."
Terdengar helaan napas dari Bu Laras. Wanita berjilbab hitam itu membuang pandangannya, ia menatap lurus ke depan. "Ibu juga memikirkan hal itu, Neng. Nanti ibu coba telepon ustad Yahya, barangkali dia mau ke sini buat lihat keadaan Bella," tuturnya dengan suara lemah.
Aku pun mengangguk. Ternyata kami satu pemikiran. Tadinya aku takut Bu Laras akan tersinggung, tapi ternyata beliau sudah sadar dengan keanehan yang dialami Bella.
Aku kembali menatap lurus. Merasakan embusan angin yang menusuk kulit. Namun, tiba-tiba aku dan Bu Laras saling pandang seperkian detik.
"Ibu dengar, 'kan?" tanyaku. Kami terdiam, mendengarkan suara lengkingan yang menganggu kesunyian malam ini.
"Itu Bella, Bu!" teriakku. Aku dan Bu Laras berdiri secara bersamaan, bergegas berlari menuju kamar Bella.
Aku membiarkan Bu Laras jalan terlebih dahulu. Sesampainya di pintu kamar, tanpa basa-basa Ibu memutar knop dengan tergesa. "Allahu Akbar. Astagfirullah!" teriak Bu Laras disertai dengan tangisan.
Akhirnya dengan terpaksa aku melewati Bu Laras, bergegas masuk dan melihat apa yang terjadi di dalam. Senyum Bella tergambar, gadis itu membuatku mematung seketika.
Bersambung ....
0 komentar: