Monday, July 27, 2020

CERPEN 7 Hari Terjebak DiKereta Api Gaib Part 5

Tujuh Hari Terjebak di Kereta Api Gaib 

Ustaz Yahya terpaksa mengikat Bella. Tangan gadis itu diletakkan pada ke dua sisi ranjang. Sepertinya ia tak nyaman, terlihat dari isyarat tubuh yang berusaha ingin lepas.

Aku menghela napas, merasa lega. Meski sebelumnya aku dan Bu Laras dibuat kewalahan. Ya, saat membuka pintu, Bella dalam keadaan tak terkendali. 

Ia menyunggingkan senyum, kedua manik cokelat itu berubah putih sempurna. Urut-urat di tubuhnya menonjol, seperti akan keluar. Badannya menempel di dinding, persis laba-laba yang merayap ke sana kemari. 

Bu Laras sudah menangis, menyebut nama gadis itu terus menerus, "Istigfar Neng, inget Allah. Baca ayat kursi." Suaranya bergetar hebat. 

Aku menarik Bu Laras agar keluar dari kamar Bella, meski awalnya menolak, tapi ini untuk kebaikan semuanya. Cepat-cepat aku menggapai kunci yang tergantung pada pintu, lantas kembali menguncinya dari luar. 

"Bella, Neng. Bagaiamana itu di dalam," ucap Bu Laras masih dengan air mata berderai. 

"Rumah Ustaz Yahya di mana, Bu? Jauh dari sini?" 

Bu Laras menghapus air matanya. "Deket, Neng. Sekitar lima rumah dari sini. Catnya berwarna hijau, biar Ibu susul." 

Aku menarik tangan Bu Laras. "Biar Indah saja yang susul, Bu. Ibu di sini jangan berhenti baca surah yang Ibu bisa ya." 

Aku bergegas lari, mencari rumah yang dimaksud oleh Bu Laras. Untung saja tempatnya tidak sulit dicari. Beruntung juga Pak Ustaz baru selesai salat Isya. 

"Ayok, Pak. Kasian Bu Laras sendirian," ucapku dengan napas terengah. 

Akhirnya aku dan Pak Ustaz Yahya pun setengah berlari, khawatir dengan keadaan Bella, pun dengan Ibu yang ditinggal sendirian. 

Rasa khawatir itu pun berganti kaget, saat Bu Laras duduk di sudut rumah dengan memeluk lutut. Aku bergegas menghampirinya, merangkul tubuh mungil itu. "Bu, Pak Ustaz udah dateng. Ibu kenapa?" 

Bu Laras bergantian memelukku. "Di dalam berisik sekali, Neng. Ibu takut sesuatu terjadi pada Bella," tuturnya masih dengan nada terisak. 

"Isrigfar dan banyak berdoa, Bu. Lebih baik Ibu ajak saya untuk melihat Bella. Tadi Neng Indah sudah bercerita tentang garis besarnya." Ucapan Pak Ustaz lumayan membuat Bu Laras sedikit tenang.  

Aku segera membantu Ibu berdiri, mengambil kunci untuk segera membuka pintu. Bergeming sejenak, lalu menatap Pak Ustaz dan Bu Laras bergantian. Wajah penuh kesedihan itu menatap pilu, berharap Bella di sana baik-baik saja. 

Aku bergegas membuka pintu. Gadis itu ... ia berjongkok di sudut kamar, memeluk lutut sembari merintih. Sontak tanganku mengusap tengkuk yang terasa meremang. Suaranya parau, seperti ada rasa sedih yang begitu dalam. 

"Bell ...," panggilku, berharap itu adalah sosok Bella yang asli. 

Baru saja kakiku terayun, Ustaz Yahya sudah mengehentikannya. "Jangan, Neng. Biar Bapak saja yang menghampirinya. Bahaya." 

Aku mengangguk, lalu membiarkan pria yang sudah beruban itu melakukan yang terbaik. Bergegas aku membawa Ibu untuk mundur, dan berdiri di depan pintu yang masih terbuka. 

Jeritan dan erangan dari Bella membuat jantungku berdebar. Aku hanya menatap Ustaz Yahya yang tengah berusaha menaklukan gadis itu. Tenaganya terlihat begitu kuat. 

"Allahu Akbar!" teriak lelaki berkopiah itu mengusap kepala Bella, membuat gadis itu menjerit dan akhirnya terkulai lemah di lantai. Aku dan Ibu segera berlari, membantu Pak  Ustaz untuk memindahkan Bella ke ranjang. 

***

"Begitu ceritanya Pak," ucapku sembari mengusap pipi yang sudah basah. 

Aku menceritakan semua tentang pembicaraan kereta gaib, sosok wanita misterius yang Bella lihat, sampe telepon terakhir yang tidak terangkat. Lengkap. Tanpa dilebih dan dikurangi. 

Ustaz Yahya hanya mengangguk, ia telihat merenung sembari mengusap-ngusap dagunya. "Raganya memang Neng Bella, tapi sukmanya bukan. Itulah kenapa kita tidak boleh lengah akan menyebut asma Allah di mana pun berada," ucap Pak Ustaz menatap wajah kami bergantian. 

"Besok, bisa antar saya ke stasiun?" tanya Ustaz Yahya. 

Aku langsung mengangguk. Meskipun sebenarnya pekerjaan sudah menunggu, tapi demi Bella—aku harus memastikan semua baik-baik saja. Biarlah rezeki Allah yang mengatur. Tak tega rasanya membiarkan Bu Laras sendirian. 

Akhirnya Ustaz Yahya berpamitan, kami sudah janjian untuk ke stasiun di siang hari saja. Katanya hanya ingin memastikan keadaan di sana. Entahlah apa maksudnya, hanya beliau yang tahu. Aku cukup jadi penyambung doa. 

Setelah pria yang jadi tetuah di kampung ini berlalu, aku bergegas masuk ke kamar Bella, memastikan keadaan gadis periang itu. Kasihan. Hanya itu yang tergambar dari wajah cantiknya. 

Dia sudah dalam keadaan tenang. Wajahnya datar, pandangannya mengarah ke atas. Hanya mata indah itu yang sesekali berkedip, menandakan ia masih terjaga. Tali di tangannya masih belum dibuka. Kami takut Bella bertingkah lagi. Bukan tentang rasa kemanusiaan, tapi ada nyawa yang harus dilindungi. 

Aku membiarkan Bu Laras masuk, ia duduk di ranjang—samping putri semata wayangnya. Tangan putihnya mulai mengelus rambut Bella dengan penuh kasih sayang. Tangis masih mewarnai malam kelam ini. 

Sementara aku bergeming di depan pintu, menatap adegan keluarga yang membuat haru biru. Aku berharap, esok menjadi jawaban tentang kesembuhan Bella. 

Suara ketukan membuatku menoleh, bergegas aku berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa tamu yang datang malam hari. Setelah knop diputar, berdiri seorang pria yang memang sudah kukenal sejak lama. Ia adalah ayahnya Bella. Memang sudah lama orang tuanya berpisah. Kebetulan aku sengaja menelepon agar datang menjenguk putri tercintanya. 

"Pak ...," sapaku, meraih tangannya dan menyalami dengan takzim. 

"Bagaimana keadaannya Bella, Neng?" tanyanya. 

Aku hanya tersenyum miris, lalu mempersilakan pria itu masuk dan mengantarnya ke kamar. 

"Astagfirullah, emang harus ya diikat seperti ini?" tanya ayahnya Bella menatapku dan Bu Laras yang sudah dalam posisi berdiri.

Aku merengkuh bahu Bu Laras dari belakang, mengusapnya pelan. Membiarkan ia menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan mantan suaminya. Sekarang, bukan kapasitasku untuk bicara banyak. Mungkin, mereka butuh waktu bertukar pendapat agar putrinya bisa lekas sembuh.

"Kalo menurutku, bisa saja Bella dihipnotis di stasiun, dan efek hipnotis itu masih menempel. Jadi dia trauma dan bersikap aneh. Kenapa gak dibawa ke dokter aja, Ras?" Pertanyaan dari Pak Agung, membuat Bu Laras bergeming. 

Aku tahu, pasti Ibu kesulitan menjawab. "Pak, saya lihat sendiri semua kejadian yang diceritakan Bu Laras. Lebih baik, kita serahkan dulu saja sama Ustaz Yahya. Besok, Indah mau antar Pak Ustaz ke stasion," ucapku mempertegas cerita Bu Laras. Bahwa memang kami tidak berhalusinasi.  

Pria yang mungkin berumur sama dengan Bu Laras itu hanya mengangguk. Kini, tangannya mengusap rambut gadis yang masih sama seperti semula. Diam. Dingin. Tak bergeming. 

"Kalo gitu, besok Bapak ikut antar ke stasiun ya Neng!" ucap Pak Agung. Aku menjawab dengan sebuah anggukan. 

***

"Astagfirullah. Kasian Neng Bella!" ucap Pak Ustaz dengan suara parau. 

"Bella kenapa, Pak?" 

Ia menggeleng lemah ....

Bersambung ....
Previous Post
Next Post

0 komentar: