Wednesday, July 22, 2020

CERPEN Masalalu Suamiku Part 4

#Masalalu_Suamiku_4

Cepat-cepat aku kembalikan posisi ponselnya ke letak semula berharap dia tidak curiga dengan apa yang baru saja kulakukan. 

Langkah selanjutnya aku akan telepon Ibunya. Ya, Ibu mertuaku. Kalau dia sudah pergi ke warung aku langsung menghubunginya, aku beralasan kalau sedang pusing dan menyuruhnya untuk menjaga warung dulu, kalau pusingku sudah hilang aku menyusul.

Beruntung suamiku tidak curiga, dia langsung mengambil ponselnya dan pergi ke warung yang letaknya dibelakang rumahku menghadap ke jalan raya besar. Rumah dan warungku menyatu, akses ke warung hanya melewati dapurku lalu tembus ke warung.

"Halo Ma, Mama apa kabar?" tanyaku langsung diberondong dengan pertanyaan kenapa menelponnya.

Padahal beberapa kali aku selalu menelponnya. Sampai waktu mertuaku ulangtahun aku membawakan kado berupa mukenah kepadanya. Aku tau mukenah miliknya sudah bolong-bolong tidak layak pakai waktu aku meminjamnya untuk beribadah saat berkunjung kerumahnya. Aku hanya tidak habis pikir, kekayaannya sampai tidak bisa dipakai untuk sekedar beli mukenah yang layak pakai. Tidak harus bagus dan mewah, setidaknya layak pakai.

"Ada apa kamu telepon, mana anakku? Dia masih dirumahmu kan? Aku sudah berkali-kali bilang kepadanya untuk tidak membangun tanah orangtuamu. Aku juga sudah bilang bangun tanahnya sendiri atau tanah milikku, pilih mana saja yang dia mau!"

"Semua tanahku sudah aku beritahu padanya supaya dibangun. Kalau tidak cukup uang sudah kutawarkan juga bantuan memakai uangku. Memang kamu apakan anakku sampai bisa mengeluarkan uang puluhan juta untukmu, hah?"

"Aku sudah mendengar semuanya dari kakak iparmu dan anakku, kamu itu tidak tau diri ya, harusnya kamu bersyukur bisa menikah dengan anakku yang sudah mapan dan memiliki segalanya sedangkan kamu kerjanya cuma bisa menuntut. Merawat suami nggak bisa, masak untuk makan suamimu nggak bisa, cari uang nggak bisa. Semua usahamu nggak ada hasilnya. Nol!" rentetnya tanpa memberiku celah untuk berbicara.

Sempat aku kaget saat dia berbicara seperti itu padahal faktanya aku yang memberi makan dan tempat tinggal yang nyaman selama ini, akhirnya aku angkat bicara.

"Stop Ma, kamu tahu? Anakmu dan kamulah orang miskin yang sesungguhnya!"

"Dan soal tanahmu yang tidak mau dibangun oleh anakmu dan memilih tanah orangtuaku untuk dibangun karena anakmu itu pintar dan licik. Tanahmu itu tidak cocok untuk berbisnis, tanahmu tidak berada ditempat strategis seperti tanah orangtuaku. Jadi mana mau dia keluar uang untuk tempat yang nantinya akan sepi pembeli. Sampai disini kamu paham kan?" bentakku tidak kalah keras.

"Anakmu itu bukan orang kaya tapi orang miskin yang sesungguhnya. Kamu tau kalau aku dan keluargaku tidak sekaya kamu dan anakmu tapi kami memberi anakmu makan, tempat tinggal yang nyaman dan semua fasilitas didalamnya!"

"Aku Ma, yang memberi makan anakmu setiap hari bukan dia yang memberi makan aku. Orang miskin hati seperti kalian itu hanya akan ku bungkam di pengadilan. Aku punya bukti kuat yang akan aku pakai untuk menggugat cerai anakmu secepatnya. Bukan aku yang akan membalas semua perbuatan kalian. Tapi orang lain yang membalasnya. Apa kamu tidak penasaran bagaimana kelanjutan nasib anakmu, wahai Mama mertuaku yang baik hati?"

Belum selesai aku bicara segera saja dia menutup telepon dariku. Dia sepertinya geram dan langsung menghubungi anaknya.

Suamiku yang tadinya diwarung langsung menemuiku yang sudah bersama Ibuku menunggunya diruangtamu.

"Kamu ngomong apa ke Mama hah? Lancang kamu ya!" ucapnya dengan bersungut marah.

"Aku ngomong apa tanyakan saja ke Ibumu. Kamu tahu aku sudah tidak tahan lagi dengan rumah tangga kita. Aku sudah memutuskan untuk berpisah denganmu. Bawa semua barang-barangmu dan pergi dari rumah orangtuaku. Secepatnya aku akan mengurus perceraian kita, aku juga pahan kamu tidak mau keluar uang untukku apalagi untuk mengurus perceraian kita. Tidak masalah, aku yang akan mengurus semua!" kataku menudingnya dan menyuruhnya angkat kaki.

"Nak, ada apa ini. Tolong jelaskan kepadaku." ucap Ibuku yang tidak tahu apa-apa meminta penjelasan.

"Aku akan jelaskan ke Mami pelan-pelan karena ini sangat mengejutkan, yang jelas tolong biarkan dulu dia pergi dari rumah ini. Lagipula laki-laki macam dia tidak pantas Mami sebut menantu!" sahutku geram.

Ibu mertuaku menelepon anaknya lagi. Kali ini dia pergi keatas ke kamar kami dan mengemasi pakaiannya. Hanya beberapa saja yang dia bawa. Yang jelas dia membawa semua hartanya yang berharga. Emas batangan dan surat berharga lain sudah dia bawa. Di brankas kami hanya tersisa milikku saja, miliknya semua dia ambil.

Akhirnya suamiku pergi angkat kaki dari rumahku. Secepatnya akan ku urus perceraianku di pengadilan.

Besoknya suamiku menelpon dan memohon ingin rujuk denganku lagi. Berbaikan denganku lagi. Dia bilang dia tidak mau bercerai denganku. Aku memakinya panjang lebar tanpa bilang kalau aku sudah mengetahui rasahasianya. Aku memberinya kesempatan dan memberinya syarat kalau dia mau kembali denganku lagi.

"Kita pergi sama-sama ke Ustadz dosen adikku ya, dia pakar masalah rumah tangga. Kamu harus mengikuti semua kajiannya denganku. Kita juga harus berkonsultasi dengan Ustadz itu agar kamu tau hakekat laki-laki yang disebut sebagai suami sesungguhnya!" pintaku dan dia menyetujuinya.

Setelah kami berkonsultasi dengan Pak Ustadz dosen dari adikku, dia makin marah dan masih tidak terima kalau harus memberikan uang belanja bulanan padaku sesuai saran Pak Ustadz, karena dia sudah membangun warung tempat kerjaku saat ini.

Baginya membangun warung dan membantuku berjualan adalah bentuk nafkahnya. Dan baginya semua pukulan yang mendarat ke tubuhku adalah main-main alias guyonan saja. Dia tidak benar-benar serius kala melakukan itu. 

"Yang benar saja, beraninya dia membela diri seperti itu." batinku

Akupun mengatakan padanya untuk berhenti berpikir bahwa aku mau rujuk dengannya karena kesempatan yang aku berikan dia sia-siakan. Aku bilang akan memaafkan masa lalunya kalau saja dia mau berubah menjadi suami yang baik menurut ajaran agama kami.

Dia tersentak mendengar aku bicara seakan mengetahui masa lalunya. Usahaku tetap nihil untuk membuatnya berubah. Dia tetap memutuskan untuk mempertahankan tabiatnya yang sama dengan masalalunya.

Setelah syaratku untuk berkonsultasi itu gagal karena dia masih mempertahankan bahwa apa yang dia lakukan sudah benar dan dia pun kaget aku mengetahui masalalunya dia tidak pernah lagi menghubungiku. Dia dan ibunya bagai lenyap ditelan bumi. Akupun tidak sudi lagi jika harus pergi kerumah mereka.

Aku merasa ini jawaban dari doa-doaku selama 9 bulan menikah. Aib suamiku dan keluarganya yang ditutup rapat akhirnya aku mengetahuinya. Dengan bukti-bukti lain seperti percakapan kami dan penyiksaan yang aku terima dan aku rekam suaranya setiap kali dia melakukan itu. Akan kubawa semua ke pengadilan. 

Setelah kejadian pilu rumah tanggaku akan berakhir ada seseorang dari masalalu suamiku yang menghubungiku. Aku makin terkejut kala seseorang bicara panjang lebar setelah mengenalkan dirinya ditelepon saat itu.

"Halo mbak, aku Dinda, mantan pacar suamimu. Aku tahu kamu akan berpisah dengannya. Kemarin dia menelponku dan kami bicara lumayan lama. Sekarang aku menghubungimu dan akan mengungkapkan semua. Setidaknya kamu akan sadar apa tujuan dia itu menikah denganmu!"

Bersambung...
Previous Post
Next Post

0 komentar: