Friday, July 17, 2020

CERPEN Dijual Suamiku Part 2

DIJUAL SUAMI
#Dijual_suami
Part 2
21+

Masih dalam kebingungan. Kuikuti langkah kak Iyen, wanita yang sedari tadi mendampingi. Orangnya jutek, tapi baik. 

Sepertinya ia tahu kekalutanku. Dibimbingnya tanganku sambil berucap, "Santai aja, Kau boleh istirahat dulu. Nanti kalau Kau sudah benar-benar siap untuk kerja. Baru kerja."

Aku hanya diam. Tak tahu harus berkata apa. Rasanya air mata juga sudah bosan untuk menetes.

Kak Iyen mengajakku ke gedung yang berada di belakang gedung utama. Tempat hiburan itu begitu luas, aku bahkan tak tahu apa saja yang ada di dalamnya.

Sampailah kami ke sebuah kamar. Di situ banyak kamar-kamar yang berjejer, mirip kost-an.  Semua pintu tertutup. 

"Ini kamarmu. Kau sekamar sama si Wati. 
Wati ... buka pintunya!"
Kak Iyen menggedor pintu itu. Tak berapa lama keluarlah wanita cantik berpakaian seksi. 

"Oh, anggota baru ya, Kak?" Wati melirikku sekilas. 

"Iya, Kau ajari dia nanti. Sekarang biar lah dia istirahat dulu. Dia kutitipkan sama Kau. Jangan macam-macam!"

"Oke ... deh," sahut Wati sambil menarik tanganku untuk masuk. 

Sementara kak Iyen sambil bertepuk tangan berteriak memanggil semua penghuni kamar. "Anak-anak, ayo cepat bergerak, sudah waktunya kerja. Ayo ... ayo ...."

Suasana menjadi riuh. Semua penghuni kamar keluar dari biliknya. Satu kamar berisi 2 sampai 3 orang. Mereka semua cantik-cantik dengan pakaian seksi dan  make-up tebal. Aroma berbagai jenis parfum menguar mengisi seluruh ruangan. Dengan gaya centilnya mereka saling bercanda, dan tertawa riang.

"Wati ... ayok, malam ini siapa yang dapat duit banyak?" Seorang wanita cantik dengan setelan tank-top dan hot-pants memanggil Wati.

"Duluan aja, aku ada anak baru, nih!" Wati menjawabnya kemudian menutup pintu.

"Kenalkan aku Wati? Siapa namamu?"

"Aku Pipit, Kak."

"Panggil Wati aja. Gak perlu pake Kak."

"I-iya."

"Cepat Kau mandi. Habis itu kita makan, siap makan kukawani Kau nyari baju untuk kerja." 

"Tapi aku gak punya uang, Kak."

"Hahahaha ... lucu juga Kau, ya? Eh, di sini hidup kita itu ditanggung sama Bos. Semuanya ditanggung. Bahkan kalau Kau pande ngerayu pelanggan. Dapat tips Kau, itu boleh untukmu. Yang pande kerja bakal kaya di sini." Dengan suara serak Wati menjelaskan semuanya padaku.

"Kita kerjanya ngapain?" Kuberanikan diri untuk bertanya.

"Tuh, kan? Lugu kali lah Kau memang, ya? Udah sana cepat mandi!"

Aku melangkah ke dalam kamar mandi yang terletak di dalam kamar itu. Aku pasrah, apa yang terjadi ... terjadilah. Berdiri berlama-lama di bawah guyuran shower. Rasanya guyuran air ini mampu melunturkan segala kegundahanku.

"Pit ... cepat mandinya! Keburu malam ini." Teriakan Wati terdengar begitu keras. Segera aku menyelesaikan mandiku dan bersiap-siap.

Wati mengajakku makan ke sebuah kantin. Kata dia kantin ini khusus untuk para pekerja. Wati suka mengoceh. Suaranya yang serak terkadang malah mirip suara lelaki. Mungkin efek dia perokok berat. 

"Kok, bisa Kau sampe sini?" tanyanya dengan wajah penasaran. 

"Dijemput sama Kak Iyen."

"Iya, tau aku kalo itu." Wati  mencebik. "Kau masih gadis apa janda, sih?"

"Aku masih punya suami," jawabku sambil memainkan sendokku.

"Apa? Kok bisa kau kemari. Suamimu gak marah?" Wati tampak heran.

"Suamiku yang mengirim aku ke sini." 

"Astaga naga. Gile memang lakik kau itu ... udah, jangan sedih-sedih. Di sini semua tamu yang datang mau gembira, makanya kita harus pandai-pandai menyimpan kesedihan. Meskipun hatimu hancur, Kau harus tetap kuat. Meskipun hatimu menangis, bibirmu harus tetap tersenyum. Meskipun kita ini hina, wajah harus tetap mendongak. Di sini Kau enggak sendiri. Semua penghuni kamar-kamar itu punya kisah sedihnya masing-masing."
Panjang lebar Wati ceramah. Kata-katanya selalu teringat hingga kini.

"Makasih ya, Wat. Mau ngawani aku."

"Nggak masalah itu."

*** 
Wati satu-satunya temanku di sini. Yang lainnya ramah, tapi seperti tidak tulus. 
Wati berbeda dari yang lain. Aku sempat heran. Meskipun dia tahu pekerjaannya adalah dosa besar, tapi ia tetap beribadah. Pernah kutanya padanya, “Kenapa masih mengingat Tuhan sih, Ti? Sedangkan Tuhan aja tidak ingat dengan kita. Memangnya ibadah kita masih diterima?”

Dengan tersenyum dia menjawab, “Dosa ya tetap dosa ... dan kewajiban akan tetap jadi kewajiban. Masalah diterima atau enggak, itu urusan belakangan.”

Jujur saja aku malu sama Wati, karena aku sendiri buta akan agama. Tak tahu salat dan mengaji. Di tempat penuh maksiat seperti ini, justru aku baru mulai belajar salat dan mengaji.

“Kalo Kau ... kenapa bisa di sini, Ti?” tanyaku penasaran.
“Aku dijual sama Bapakku.”
Aku terkejut mendengar penuturan Wati. Hidupnya tak kalah tragis dariku. Meskipun ia telah menyelesaikan kontrak 10 tahun, tetap saja ia tak bisa kembali. Bapaknya mengancam akan menjual adik-adiknya jika ia tak mengirim uang. Ia juga cerita dulu sering mencoba untuk kabur, tapi selalu tertangkap lagi. 

Sepertinya aku memang harus pasrah pada keadaan. Biar lah, apa yang terjadi-terjadilah. Membiasakan diri dengan lingkungan sekitar. Mencoba kuat dan tersenyum. Belajar manja dan merayu. Setelah seminggu barulah Wati mengajakku bekerja. 

Awalnya canggung dan risi. Akan tetapi, harus aku lakukan. Apalagi kak Iyen sering mengingatkan. Aku tak boleh melarikan diri. Anak buah Bos ada di mana-mana. Jika sampai tertangkap, mereka tega berbuat sadis. Selain itu hidup -hendro- suamiku juga terancam.

Hendro menandatangani kontrak penjualan diriku selama 2 tahun. Setelah itu aku bebas memilih hidupku.

Lama-kelamaan aku mulai betah di sini. Aku punya banyak teman dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dosa? Ah, aku tak tahu apa itu dosa. Bahkan teman-teman sering bilang, dosa itu 'dorong saja'. Tentunya mengatakannya sambil tertawa terbahak-bahak.

Jijik? Sudah biasa. Bahkan kami kebal terhadap tatapan orang-orang yang merasa jijik melihat kami.

Kunikmati hidupku di sini. Makan enak, baju bagus, dan perhiasan mahal. Tak jarang pelanggan mengajakku jalan-jalan hingga Singapura. Tentunya dengan seizin Bos. Dan biasanya hanya teman Bos yang bisa.

Waktu berjalan begitu saja. Tanpa kusadari hampir 2 tahun aku di tempat ini. Aku harus berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Kadang, keinginan untuk hidup normal begitu kuat. 

Ingin seperti wanita lain yang hidup bahagia dengan anak dan suami, tapi ... siapalah yang mau menikahi pela*ur sepertiku.

Aku bingung. Apakah kulanjutkan saja hidupku di sini. Menjajakan tubuh ke setiap hidung belang. Bicara manis dan manja kepada siapa saja. Bibir tersenyum, meskipun hati menangis.

Bersambung .... Part 3
Previous Post
Next Post

0 komentar: