DIJUAL SUAMI
#Dijual_suami
Part 3
21+
Syair lagu kupu-kupu malam ciptaan Titiek Puspa yang dipopulerkan lagi oleh grub band Peterpan itu sangat lah tepat menggambarkan kehidupan kami. "Bibir tersenyum kata harus merayu memanja, kepada setiap mereka yang datang". Itulah yang kami lakukan.
Entah lah, seandainya kami punya pilihan jalan hidup yang lain. Tentulah akan kami pilih jalan lain. Beruntung lah kalian yang tak harus bersusah payah menjalani hidup. Yang dengan mudah bisa mendekatkan diri kepada sang pencipta. Tidak seperti kami ... wanita yang selalu dipandang hina dan tak bermoral. Sampah masyarakat yang harus dibuang dan dikucilkan.
***
Hari itu kak Iyen mengajakku bicara khusus di ruangannya. Ia menyampaikan bahwa kontrakku sudah habis. Aku bebas memilih, apakah akan tetap tinggal atau pulang.
“Pit, Kau sekarang bebas. Kontrakmu sudah selesai. Kau bebas memilih mau pulang atau tetap di sini. Jika mau, tetaplah di sini. Setidaknya tidak ada yang menyakitimu. Bahkan Kau bisa menerima gajimu sendiri. Kau bisa menabung. Seperti Lila dan Tasya, mereka pensiun setelah memiliki tabungan yang cukup untuk modal usaha.”
Aku resapi kata-kata kak Iyen. Ada benarnya juga. Toh, tidak ada tempat untuk aku pulang. Suami? Ah, sudahlah ... bajingan itu tidak perlu aku pikirkan.
Di sini aku aman. Hendro tak akan berani macam-macam. Jika ada tamu yang membuat ulah, serahkan saja pada pihak manajemen. Semuanya beres. Pekerja di sini benar-benar dijaga. Pun jika kontrak penjualan sudah habis masanya, PSK seperti kami berhak menentukan pilihan. Akan tetapi, lebih banyak yang memilih untuk tetap tinggal. Alasannya beragam, sepertiku dan Wati yang tidak ada tempat untuk pulang.
“Kayaknya, aku akan tetap tinggal di sini aja, Kak ...” jawabku mantap.
Kak Iyen tampak tersenyum. Tentu dia menyambut baik keputusanku. Dari luar dia kelihatan galak, tapi sesungguhnya dia juga baik. Hampir sama seperti Wati, memiliki masa lalu yang menyakitkan.
Dia tidak seperti mami-mami kebanyakan, yang selalu memaksa anggotanya untuk peras keringat demi kejar setoran. Kak Iyen lebih mirip seperti seorang kakak, yang tidak ingin adiknya bekerja keras hingga menderita. Baginya, tampil energik dan prima lebih utama, karena bisa lebih memuaskan pelanggan ketimbang memaksakan diri.
“Ya, sudah ... mulai bulan ini, Kau bisa terima gajimu sendiri. Selamat, ya?” ucapnya sambil memelukku.
Seperti dugaanku, teman-teman satu asrama pastilah ‘kepo’ dengan keputusanku. Saat aku masuk asrama, mereka sudah berjejer di depan pintu menanti jawabanku. Sudah tradisi bagi kami untuk saling mengucapkan selamat bagi siapa saja yang bebas.
Bahkan, kami akan mengadakan pesta perpisahan khusus bagi mereka yang memutuskan untuk pensiun. Pesta akan diakhiri dengan menceburkan orang yang pensiun itu di pantai. Menurut kami itu salah satu cara buang sial. Suatu saat aku juga ingin mengalaminya.
“Pipit ... Pipit .... gimana? Apa keputusanmu?” Riuh suara mereka saling berlomba bertanya.
Aku tertawa geli melihat tingkah mereka. “Apa, ya?” jawabku memancing penasaran mereka. Mereka semakin riuh.
“Cepat lah Pit. Ayo jawab?” tanya Sheilla dengan nada centilnya.
“Jangan sedih ya, Gaes. Aku tetap tinggal di sini.”
Mereka tertawa dan bersorak mendengar jawabanku. Tanpa sadar ada kak Iyen di belakang kami.
“Hei ... hei ... ngapai kalian? Tidur ... tidur .... Sana istirahat, bukannya malah ngerumpi. Awas aja kalau nanti malam kalian ada yang ngantuk. Kena bal-bal kalian nanti, ya?” Suara kak Iyen terdengar menggelegar memenuhi ruangan. Semua menunduk sambil sikut-sikutan, perlahan bubar menuju kamarnya masing-masing.
“Kau juga Pit. Sana tidur, nanti malam kerja jangan sampai ngantuk,” perintahnya.
“Iya, Kak,” sahutku.
Malam itu aku kerja sebagai orang bebas. Lepas tanpa beban. Membayangkan pundi-pundi rupiah yang akan aku kumpulkan. Aku berencana akan mengumpulkan modal yang banyak untuk membuka warung makan. Setidaknya, masa tuaku tidak harus terlantar.
Seandainya tidak ada jodoh pun tak apa-apa. Aku sadar diri siapalah diri ini. Apalagi Wati sering cerita kalau lelaki baik-baik itu haram hukumnya menikahi wanita pe-zina. Jika memang demikian, aku bisa apa.
Bersambung .... Part 4
0 komentar: