Monday, July 20, 2020

CERPEN Dijual Suamiku Part 6

DIJUAL SUAMI
#Dijual_suami
Part 6

Pagi itu aku pamit kepada seluruh teman-teman. Setelah semalam kami merayakan pesta perpisahan. Akhirnya aku lebih memilih untuk ikut pulang dengan Hendro. 

Hendro menjemputku dengan penuh semangat. Ia berterima kasih ke semua teman-temanku.  Ia juga membawakan tas dan semua barang-barang. Ia juga cerita, selama di Batam hampir kehabisan uang. Hanya tersisa untuk ongkos pulang. 

Kami pulang dengan menggunakan pesawat. Lebih kurang satu setengah jam perjalanan sampai ke Medan.  

***
Sesampainya di rumah. Ibu mertua sudah menunggu di depan. Dengan senyum ramah ia menyambut kedatangan kami. Syukurlah aku sempat membelikannya oleh-oleh, jadi beliau makin senang. 

“Ya Allah, Pipit ... cantik kali Kau sekarang. Mamak sampai pangling.” Ibu mertua menghambur memelukku. Kami saling berpelukan. 

“Mamak sehat, kan?” sapaku. 

“Alhamdulillah, mamak sehat. Maafi mamak ya, Pit. Mamak banyak salahnya samamu.” Ibu mertua menangis.

“Enggak apa-apa Mak. Pipit juga banyak salah.” Kucoba untuk menghibur beliau.

“Sudah, yuk kita masuk ke rumah.” Hendro membuyarkan suasana haru biru di antara kami. Hari itu. Kami merayakan berkumpulnya kami kembali.

Mereka sepertinya benar-benar berubah. Ibu mertua sudah ikut pengajian. Penampilannya juga sopan layaknya seorang ibu. Aku sering diajaknya ke pengajian. Diperkenalkan kepada teman-temannya. 

Aku merasa bahagia bisa hidup normal seperti orang-orang. Mulai menata hidup yang lebih baik. 

Setahun kemudian aku positif hamil. Hendro senang, ibu mertua pun tak kalah senang. Kehamilanku kali ini benar-benar disambut baik. Tak ada kendala berarti, aku masih bisa beraktivitas layaknya ibu rumah tangga. 

Setelah sampai waktunya, aku melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Semua gembira, Hendro menamainya Galih. Segala kebutuhannya terpenuhi. 

Dasar kami yang teledor. Belum genap usia Galih lima bulan. Aku sudah hamil lagi. Lagi-lagi aku melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Dan diberi nama Gilang. 

Gilang lebih cengeng ketimbang Galih. Saat malam sering menangis. Kadang membuat seisi rumah tidak bisa istirahat dengan nyenyak. Tentu saja itu menjadi masalah bagi Hendro yang bekerja sebagai sopir restruck pengangkat bahan bakar batu-bara dari kapal ke pabrik.

Sering ia pergi kerja dalam keadaan mengantuk. Hingga hari nahas itu terjadi. Kontainer yang dikendarainya menabrak beberapa kendaraan di depannya. Semua murni karena kelalaian. Ia lupa mengecek kelayakan kendaraan, jadi tak tahu jika remnya blong. 

Dumptruck yang ditabraknya terguling menabarak pembatas jalan. Syukurlah tidak ada korban jiwa. Sopir dan kernetnya hanya luka-luka. Akan tetapi, kejadian itu membuat ia Hendro kehilangan pekerjaan. 

Sebulan dua bulan. Hendro masih belum mendapatkan pekerjaan. Uang tabungan semakin menipis. Perangai Hendro mulai kasar dan tak betah tinggal di rumah. 

Ibu mertua menyarankannya untuk meminta pekerjaan kepada bapaknya. Bapaknya juragan angkot. Setidaknya Hendro bisa menjadi sopir angkot.

Syukurlah. Bapak mertua mau menerima anaknya ikut bekerja. Hendro pun menjadi sopir angkot. Meskipun penghasilannya tidak sebesar saat jadi sopir restruck, seharusnya tidak ada masalah. Kami bisa hidup dengan sederhana.

Pergaulan menjadi sopir angkot memaksanya untuk kembali ke jalanan. Bergaul dengan preman dan orang-orang yang hobi nongkrong di lapo tuak. 

Bersambung .... Part 7
Previous Post
Next Post

0 komentar: