DIJUAL SUAMI
#Dijual_suami
Part 7.
Perubahan sikap Hendro membuat aku khawatir. Khawatir akan terulang kembali peristiwa yang telah lalu.
Tak cuma itu, Hendro juga mulai mengikuti kebiasaan mereka. Selesai kejar setoran, ia pasti nongkrong dulu di lapo tuak. Tak jarang, juga ikut main judi. Awalnya kecil-kecilan, lama-lama main besar.
Hendro jarang membawa hasil saat pulang. Itu berarti aku dan ibu mertua harus putar otak untuk mencari penghasilan. Atas rekomendasi dari sahabat ibu mertua. Aku bisa bekerja di pabrik pembuatan jeli.
Ibu mertua mengizinkan. Saat aku bekerja, beliaulah yang menjaga kedua putraku. Bertahun-tahun keadaan belum membaik. Hendro kembali kasar. Sering pulang dalam keadaan mabuk. Bukan hanya aku. Ibunya juga sering dihardik.
Sungguh tak pernah kami duga jika dia bakal seperti ini. Mungkin dia juga mengonsumsi obat-obatan terlarang. Aku pernah menemukan pipet dan botol plastik yang dibuat seperti bong alat pengisap sabu-sabu.
Kadang aku bosan melihat sikapnya, tapi ibu mertua selalu memintaku untuk sabar. Ya ... sabar dan terus-terusan sabar. Kadang aku malah berusaha menganggap dia tidak ada. Pulang hanya untuk marah. Belakangan ia sering mencuri uangku ataupun uang ibu.
Kami harus pintar-pintar menyembunyikan uang kami. Jika tidak kami tidak bisa makan. Sepertinya otak Hendro sudah benar-benar rusak.
Suatu hari bapak mertua datang marah-marah mencari Hendro. Ibu yang menghadapi. Mereka terlibat adu mulut. Bapak berpikir ibu menyembunyikan Hendro. Sementara Ibu tidak suka bapak datang dengan marah-marah. Kucoba untuk melerai mereka.
Rupanya Hendro bikin ulah lagi. Angkot yang dipercayakan bapak padanya malah digadaikan untuk modal judi. Selain itu, Hendro juga tak pernah memberikan setoran. Malah sering minta uang minyak sama mandor, dengan alasan di suruh bapaknya.
“Bang Hendro jarang pulang, Pak? Kalaupun pulang, dia cuma minta uang aja.” Aku berusaha memberikan pengertian kepada bapak mertua.
“Memang sudah gila anak itu. Nyesal kali aku ngasi angkot sama dia.” Bapak mertua keluar sambil menggerutu.
Hendro memang sudah benar-benar gila. Yang terpikir di otaknya hanya uang dan uang. Gila judi dan kecanduan narkoba. Tobat hanya di mulut. Kenyataannya tak pernah ia tobat dengan sungguh-sungguh.
Aku memang wanita bodoh. Tetap saja berharap suatu hari nanti ia akan berubah. Masih menyambutnya dan melayaninya saat ia pulang.
Sering kali ia pulang secara sembunyi-sembunyi. Katanya ada yang mengikuti. Tentu saja ada yang selalu mengintainya. Hutangnya ada di mana-mana. Sudah tahu judi itu dosa, ya tetal dilakukannya. Menang sekali, kalah puluhan kali. Masih tidak kapok juga.
Barang-barang berharga semua sudah habis terjual. Apa pun yang bisa digadaikan akan digadaikannya.
Terakhir pulang jalan kaki. Motornya sudah raib entah dilelang siapa. Barang tersisa miliknya hanya ponsel yang dipakai untuk menelepon siapa saja yang mau meminjaminya uang.
“Abang berhentilah jangan judi sama mabuk lagi ...” pintaku ketika ia pulang ke rumah.
“Abang mau berhenti, tapi utang Abang sudah terlalu banyak. Kalau abang berhenti sekarang sebelum bayar utang sama mereka, bisa habis kita nanti. Memang bajingan itu si bandar judi, dijebaknya awak biar terus main.” Ocehan Hendro tak bisa menenangkan hatiku. Semakin kalut menghadapi hidup yang tidak pernah tenang.
Kekalutan makin bertambah saat mengetahui aku hamil lagi. Galih dan gilang memang sudah cukup besar. Tujuh dan enam tahun. Harapanku semoga mendapatkan bayi perempuan. Meski telinga sering mendengar gunjingan para tetangga.
“Suami sudah enggak guna gitu ya, masih diterima.”
“Punya suami brengsek gitu, kok ya, masih mau hamil.”
“Suami taunya cuma buat anak. Tapi gak pinter cari makan.”
Berbagai macam gunjingan dan nyinyiran tetangga yang kadang langsung terdengar ditelinga. Aku hanya bisa tutup telinga. Berusaha tetap tegar demi anak-anak.
Bersyukur ibu mertua mau membantu perekonomianku. Beliau berjualan kue dan sarapan pagi. Aku membantunya mempersiapkan segala sesuatu sebelum berangkat bekerja. Walau dalam keadaan hamil aku tetap bekerja. Lagi pula pekerjaan di pabrik lengkong tidak begitu beras. Aku hanya bertugas di bagian pengemasan.
Janinku sehat, alhamdulillah aku juga sehat. Tak ada kendala yang berarti dalam kehamilanku. Hingga waktunya tiba, lahirlah bayi perempuan yang cantik. Kulitnya putih, hidung mancung, bermata bulat dengan bulu mata yang lentik. Rambutnya hitam dan ikal.
Banyak yang bilang putriku asli titisan ibunya. Semuanya mirip. Begitu senangnya memiliki putri yang cantik. Ibu mertua juga sangat sayang padanya. Apalagi beliau belum punya cucu perempuan.
Ibu mertua yang memberikan ia nama Aliya, nama yang cantik sesuai dengan orangnya. Berharap dengan nama yang bagus, akan membuat kehidupan bagus pula.
Aku berjanji dalam hati. Akan mendidiknya dengan baik. Memberikan pendidikan agama dan sekolah yang tinggi. Agar tidak menjadi wanita yang bodoh sepertiku.
Sedangkan Hendro masih saja seperti itu. Tak jelas arah hidupnya mau ke mana. Pulang hanya saat lapar dan mengantuk saja. Setelah kenyang ia akan pergi lagi.
Ketiga adiknya yang dulu manja sekarang malah jauh lebih baik ketimbang dia. Yang paling bungsu mengontrak rumah tak begitu jauh dari sini. Ia dan istrinya sering datang menjenguk ibu mertua. Sebenarnya istrinya baik, hanya saja sering silang pendapat dengan ibu mertua. Itu sebabnya mereka tidak mau tinggal serumah dengan ibu.
Bahkan saat Alya hadir, Weni—adik iparku menawarkan diri untuk menjaganya saat aku pergi bekerja. Anak mereka cuma satu dan sudah sekolah, jadi ia merasa bosan tak ada kegiatan.
Tentulah aku sambut dengan gembira. Setidaknya perekonomian kami tetap berjalan dan anak tetap terurus. Ibu mertua juga tak perlu repot lagi. Galih dan gilang juga sudah sekolah.
Semoga saja, tak terjadi lagi apa yang aku khawatirkan tentang Hendro. Mudah-mudahan ia akan kembali ke jalan yang benar.
Bersambung .... Part 8
0 komentar: