Friday, July 31, 2020

CERPEN Dijual Suamiku Part 8

DIJUAL SUAMI
#Dijual_suami
Part 8

Akhir-akhir ini Hendro sering pulang. Kelihatannya lebih stabil, tak perlu lagi ia sembunyi-sembunyi. Aku dan ibu mertua heran dengan perubahan sikapnya. Bisa jadi karena saat pulang ia tak lagi melihatku awut-awutan seperti tak terurus.

Apalagi sekarang, setelah Alya berusia satu tahun. Aku bisa merawat badan lagi. Mulai belajar memakai pakaian yang sopan dan rapi. Ibu mertua juga menyuruhku untuk mengenakan hijab. Aku pun mulai belajar mengenakannya. Memakai jilbab paris segi empat. Pakaian masih kumodifikasikan dengan celana panjang atau rok.

“Nah ... gitu kan cantik, Pit,” seru ibu mertua saat melihatku mengenakan jilbab.

“Iya, Mak. Pipit mau belajar pakai jilbab. Semoga Pipit bisa istiqomah ya, Mak.”

“Aaamiin ... iya, Pit. Mamak doakan supaya kau istiqomah. Mamak aja menyesal Pit. Tau belajar ngaji dan solat sudah tua.  Dulu  taunya cuma dandan dan bergaya. Asal diajak kawan-kawan ke pengajian jawabannya, nanti ... kalo sudah tergerak hatiku.” Ibu mertua bercerita sambil tarik napas. Sepertinya ia begitu menyesal baru bisa bertobat. 

“Masih kecil dulu Mamak juga gak belajar ngaji?” tanyaku penasaran. 

“Sama sekali enggak. Bapakku itu orang yang tak percaya sama Tuhan. Jadi waktu buat KTP, asal sebut agama. Karena yang paling banyak agama Islam, ya jadilah agama itu yang ditulis.”

Ibu mertua terdiam sejenak kemudian melanjutkan lagi kisahnya. “Hidup tanpa agama itu ibarat layangan yang putus talinya. Memang dia bisa terbang bebas lepas ke mana pun, tapi tak tak tau arah dan tujuan. Gembira dan bahagia hanya di permukaan, sementara dasar hatinya tak pernah tenang.  Jika saja Mamak tak diberi cobaan berkali-kali, mungkin belum sadar.  

Mamak begitu terpukul saat tau, bapak kalian kawin lagi. Kawin sama janda yang katanya janda baik-baik. Masa iya, janda baik-baik mau ngerebut suami orang. Mamak gak bisa terima. Apalagi waktu bapak mulai sering membanding-bandingkan mamak sama dia. Emosi, rasanya pengen tak santet perempuan itu. 

Mamak datangi dukun santet. Minta tolong mau nyantet perempuan itu. Bolak balik gagal. Berhasil sebentar, tau-tau dia udah sembuh lagi. Tak santet lagi, ya sembuh lagi. Karena penasaran. Mamak tanya sama dukun santetnya. Kenapa kok santetku nggak pernah berhasil. Opung itu bilang, perempuan itu taat beribadah, agamanya kuat, ikut pengajian rutin yang gurunya tau melawan sihir. Maksudnya gurunya tukang rukiah. 

Mamak makin penasaran, apa pun ceritanya perempuan itu harus mati. Karena santet tak mempan, mamak cari info tentang gurunya. Maksud hati mau datang melabrak memberitahukan kelakuan murid mengajinya. Rupanya itu malah jadi jalan mamak untuk tobat. Entah kenapa dorongan untuk ke sana kuat kali. Mungkin Allah sengaja menggerakkan hati mamak. 

Sampai sana, mamak malah disambut baik sama ustaznya. Semua ocehan mamak yang penuh emosi itu didengarkan dulu sama dia. Dia diam aja, enggak memotong ataupun membela muridnya, ditunggunya mamak sampai siap ngomong. Gitu mamak siap ngomong barulah dia mengajak mengobrol dari hati ke hati. Kata-katanya ngena di hati mamak. Perginya penuh emosi kemarahan, pulangnya bawa rasa penuh penyesalan. 

Dari situ lah, mamak mulai ikut-ikut mengaji. Kalau dipikir-pikir apa yang selalu dibilang sama bapak dulu ada benarnya. Mamak enggak pernah jadi istri yang baik. Boro-boro ngurus suami, ngurus diri sendiri aja kadang males. Anak-anak enggak ada yang terdidik. Semua texas. Sebagai orang tua mamak cuma tau ngasi makan sama jajan. Pendidikan akhlak dan sopan santun sama sekali enggak ada. 

Wajar aja kalau bapak akhirnya merasa enggak nyaman di rumah. Rumah sudah kayak neraka. Enggak ada ketenangan sama sekali. Sekarang ... semua terlanjur berantakan. Hendro terlanjur rusak, Hendrik sama sekali enggak ada sayang-sayangnya sama orang tua. Hanya Herman, yang sekarang mau menghargai mamak.

Terima kasih ya, Pit. Kau mau menemani mamak. Bisa paham dan maklum sama semua kelakuan mamak. Mamak harap, Kau jangan pernah meninggalkan mamak.” 

Panjang lebar ibu mertua bercerita tentang hidupnya. Aku mendengarkan dengan serius. Meskipun dalam hati sempat terpikir derita yang beliau hadapi tidak sebanding dengan apa yang pernah aku alami. Namun tak mungkin kuungkapkan. Sampai sekarang, ibu mertua tak pernah tahu apa yang sebenarnya aku kerjakan di Batam. Yang beliau tahu, aku bekerja di restoran seperti yang diceritakan Hendro.

“Mak, anggaplah Pipit jadi anak Mamak sendiri. Dari kecil, Pipit enggak pernah merasakan punya ibu. Enggak ada yang menegur saat Pipit berbuat salah. Enggak pernah ada yang mengajari ilmu agama. Bahkan, enggak ada yang memberi tahu apa itu dosa. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.” 

Mata ibu mertua tampak berkaca-kaca. Rasa haru menyelimuti kami. Semoga selamanya hubungan kami tetap terjalin dengan baik.

“Mamak bisa maklum, Pit. Pada dasarnya Kau itu baik. Bahkan meski tak ada yang mengajari Kau mampu bersikap baik. Maafi mamak dulu yang udah sering buat Kau menderita,” ungkap ibu mertua. 

“Pipit juga ya, Mak.” Kami saling berpelukan seperti ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu. 

“Apa pun yang dibuat sama Hendro, Kau tetap sabar, ya? Jangan tinggalkan  mamak pokoknya.”

“Iya, Mak.” Kami tersenyum bersama-sama.

Ibu mertua yang sekarang memang sudah jauh berubah. Tidak lagi temperamental, lebih kalem, dan bersahaja.   Dengan adanya beliau menambah penyemangat hidup. Ada teman untuk saling bertukar pikiran. 
Semua masalah yang diciptakan Hendro kami selesaikan berdua. Setiap kali Hendro pulang marah-marah, ibu mertua yang selalu membelaku. Bahkan saat ada tetangga yang menggunjing tentang diriku, ibu mertua tampil terdepan mengklarifikasi. 

***
Malam itu, Hendro pulang lebih awal. Ia mengajak ke kamar katanya ada yang mau dibicarakan. 

“Cepat ganti baju, terus dandan yang cantik!” perintahnya.

“Memangnya mau ke mana, Bang?” Tiba-tiba saja ia mengajak pergi.

“Sudah, jangan banyak tanya. Pokonya malam ini ikut sama aku.” Lagi-lagi ia memerintahku dengan kasar. 

“Tapi ... gimana sama Alya, Bang? Nanti dia nangis kalau kutinggal malam-malam.” Aku berusaha memberikan pengertian kepadanya, tapi sepertinya itu tidak akan membuatnya berubah pikiran.

“Halah, kan ada mamak, sih. Kan enggak mungkin kalau dia nangis dibiarkan,” ocehnya.

“Aku enggak mau pergi ... kalau Abang enggak bilang mau ke mana.”

“Kita mau undangan ke tempat kawanku. Aku sudah bilang sama mereka mau bawa istri.” 

“Berarti Alya bisa diajak kan, Bang?” pintaku berharap bisa membawa Alya.

“Enggak usah, lah. Lagian di sana banyak bapak-bapak merokok.” Alasannya cukup masuk akal. Apalagi Alya dalam kondisi batuk pilek.

Tiba-tiba saja Hendro menarik jilbab yang akan aku kenakan. 

“Tak usah pakai jilbab ... Kau jelek kalau pakai ini.” Jilbab itu dicampakkan Hendro ke tempat tidur.
“Kenapa tak boleh, Bang? Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, untuk selalu menutup aurat, Bang ...” ratapku memohon agar diizinkan untuk mengenakan jilbab itu.

“Kubilang enggak ya, enggak. Kalau mau jadi istriku harus nurut sama aku. Sudah dandannya? Cepat sikit, sudah malam ini!”

“Aku pamit sama mamak dulu.” Aku tinggalkan Hendro di kamar. Segera menuju kamar ibu mertua. 

Ibu mertua cukup terkejut melihat penampilanku.
“Lo, Kau mau ke mana, Pit?” tanyanya dengan wajah penasaran.

“Bang Hendro ngajak undangan ke tempat kawannya, Mak.”

“Kenapa tak pakai jilbab? Terus Alya diajak apa enggak?”

“Alya tinggal, Mak.” Sambil menunduk dan malu aku mengatakannya, “Bang Hendro tak mengizinkan Pipit pakai jilbab, Mak.”

Ibu mertua begitu terkejut dengan apa yang kuucapkan.  Ia segera bangkit menuju tempat Hendro berada.

“Hendro ... apa-apaan, Kau? Kenapa Kau suruh Pipit buka jilbab?” Ibu mertua menghardik Hendro sembari berkacak pinggang.

“Halah, Mamak jangan ikut-ikut urusanku! Kalau Mamak iya lah, sudah tua ... cocoknya memang ditutup itu badan. Ini Pipit kan, masih cantik. Sayang kalau ditutup-tutupi.” Hendro tak kalah keras menjawab omongan ibunya. 

“Kalau Kau mau jadi bajingan yang bejat, ya cukup Kau aja. Jangan mengajak istrimu!” Ibu mertua begitu emosi mendengar ocehan anaknya.

“Sudah, lah. Mamak jangan ikut-ikut. Jaga saja itu si Alya. Aku mau ajak Pipit dulu sekali-sekali. Biar tau pesta dia.” 

“Tapi Pipit harus pakai jilbabnya.” Ibu mertua masih terus berseru.

“Enggak perlu!” bentakan Hendro mengagetkan semua orang yang ada di rumah. Kudengar Alya juga sampai terbangun dan menangis. Segera aku bergegas menuju kamar untuk menenangkan tangisnya. Namun langkahku dicegah Hendro.

“Sudah, Kau ikut aku aja. Tak perlu Kau urus anak kecil itu.”

Dengan cepat tangan Hendro menarik lenganku secara paksa. Menarikku keluar. Tak dihiraukannya anak-anak yang menangis.

Bersambung.
Previous Post
Next Post

0 komentar: