Sunday, September 6, 2020

CERPEN Cerita Misteri Santet Part 2

Sepeninggal dari rumah Paman, hatiku terus berkecamuk. Melihat kondisi Ayah, membuat hatiku semakin hancur. Tabungan juga sedikit demi sedikit habis untuk pengobatan saja.

Ibu semakin jarang di rumah karena harus banting tulang mengambil alih posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga. 

Saat sedang sibuk mengelap tubuh ayah, pintu digedor keras dari luar. Segera aku membuka pintu, rupanya ada Bibi yang sudah berdiri dengan wajah sendunya.

"Lila, maafkan pamanmu jika ia salah. Tapi ingatlah, pamanmu tak akan melakukan hal yang kau tuduhkan itu," ucap Bibi.
"Kalau bukan paman, siapa lagi Bi? Setiap dibawa ke orang pintar pasti jawabannya orang dekat," jawabku sambil menahan tangis.
"Apa kamu punya bukti?" tanya Bibi.
"Suatu saat aku akan menemukan buktinya. Sedangkan kau, pasti membela paman karena dia adalah suamimu!" jawabku ketus.
"Tapi__," ucap Bibi terpotong.

Terdengar batuk Ayah, segera aku berlari menghampirinya. Tak lupa ku tutup pintu dan menyuruh Bibi pulang. Tak tahan rasanya jika harus bertatap muka dengan keluarga itu.

Ya Tuhan, tak sanggup rasanya melihat kondisi ayah yang seperti ini. Ibarat pepatah mengatakan, hidup enggan matipun tak mau. Dia hanya bisa terbaring saja dengan napas terdengar begitu berat.

Entah berapa lama aku menangis disampingnya hingga terlelap. Dalam mimpiku, ada 3 ekor sapi yang memaksa masuk rumah. Ayah memaksa menutup pintu, namun akhirnya jebol juga.

Seketika aku tersentak kaget dan bangun. Tak lupa pula mengucapkan istighfar beberapa kali. Menurut nenek dulu, mimpi sapi masuk rumah merupakan pertanda adanya santet atau kemodung.

Segera aku mengecek hidung Ayah, syukurlah dia masih bernapas. Namun tiba-tiba Ayah batuk kembali.

Alangkah terkejutnya, Ayah mengeluarkan cairan hitam kental yang sangat busuk. Dengan sabar, aku terus mengelap tubuhnya sambil menangis.

Sedangkan Ibu, selarut ini belum pulang juga. Mungkin warung tempatnya bekerja belum tutup. Maklumlah, tutupnya kadang tak mengenal waktu. Akupun memahaminya.

***
Tak hentinya aku terus berusaha dan berdoa untuk kesembuhan Ayah. Dengan terpaksa, aku harus menjual sisa sapi peninggalan kakek untuk mengobati Ayah.

Menurut info dari teman, ada orang pintar dari Kalimantan. Aku begitu tertarik, siapa tahu Ayah bisa sembuh.

Pada akhirnya orang itu datang ke rumah, tentunya aku bersedia membiayai seluruh perjalanannya ke Jawa.

Antara percaya dan tidak percaya seakan berada di sebuah arena akrobat. Orang itu mengeluarkan gulungan rambut kecil, silet dan paku yang berkarat bahkan pecahan beling. Entah bagaimana caranya benda-benda itu bisa keluar.

Ayah juga batuk kemuian keluar darah kehitaman yang begitu banyak, namun ku biarkan saja sebab aku yakin orang itu bisa menyembuhkannya.

Perut Ayah yang dulunya buncit layaknya  orang hamil makin mengempes seiring dengan keluarnya cairan hitam tersebut. Bau busuk dan mengaduk isi perut, tak ku hiraukan lagi.

Syukur alhamdulillah, Ayah kemudian terlihat lebih segar. Bahkan tiba-tiba sudah bisa bangun sendiri, membuat aku sangat bahagia.

Ku rangkul tubuh yang dulunya kekar itu. Sosok yang selalu melindungiku, dialah salah satu orang yang paling ku sayangi setelah ibu. Meski ku tahu, Ayah tak pernah menangis untukku namun ku yakin dia sangat menyayangiku.

Aku menangis bahagia, ternyata ada secercah harapan untuk kesembuhannya. Tak apalah semua harta habis, toh harta bisa dicari nantinya.

Desas desus kesembuhan Ayah yang tergolong mendadak cepat tersebar. Banyak tetangga kemudian datang sekedar memastikan kebenaran kabar tersebut.

Hingga suatu malam Jumat Wage, yang menurut keyakinan nenek dulu merupakan malam yang begitu bagus untuk mengirimkan santet. Dulu, nenek melarang keras tidur lebih awal karena takut penyakit kiriman tersebut bisa dengan mudah memasuki tubuh.

Dengan perasaan was-was bercampur takut yang memenuhi pikiran, aku mencoba lebih tenang. Hawa terasa begitu panas dan entah kenapa mata ini sulit terpejam meski sudah dini hari.

Krapak...krapak...krapak... terdengar seperti kelereng yang berjalan diatas genteng. Suara itu berulang beberapa kali, membuat aku penasaran dan ingin melihat apa yang terjadi.

Aku berjalan perlahan dan mengecek kondisi Ayah. Dia sedang tertidur pulas, dengan Ibu yang berada disampingnya. Syukurlah, rupanya tidak terjadi hal buruk padanya.

Saat membalikkan badan, ku lihat bola api terbang begitu cepat dan menembus tubuh Ayah. Deg, aku tak dapat berteriak saking kagetnya dan hanya terdiam mematung.

Namun anehnya, tubuh Ayah tidak terbakar bahkan tetap dalam posisi tidurnya. Aku mengucek netra beberapa kali, takutnya hanya halusinasi belaka.

Apa aku ini sedang bermimpi? namun setelah ku cubit lenganku terasa sakit juga. Segera ku tepis perasaan yang aneh-aneh, toh Ayah masih tidur dengan pulas dan aku kembali ke kamarku dan menganggap hanya halusinasi saja.

***
Rupanya aku telat bangun pagi ini.Mungkin ibu sudah berangkat bekerja. Kulihat duduk sambil menikmati kopi.

Segera aku menghampirinya dan tersenyum. Belum langkah ini berhasil menuju Ayah, tiba-tiba dia ambruk dan tak sadarkan diri.

Aku berteriak dan merangkul tubuh ayah. Rupanya didengar tetangga dan kubiarkan juga paman yang menggotong ayah kemudian dibawa menuju puskesmas terdekat.

Ku hubungi ibu berkali-kali namun tak diangkat juga. Mungkin ponselnya tertinggal di rumah.

Setelah diperiksa dokter, rupanya Ayah tak memiliki penyakit apapun sehingga diijinkan untuk dibawa pulang. Kejadian ini sama persis dengan dulu saat awal dia sakit.

***
Makin hari perut Ayah membuncit lagi bahkan terlihat parah dari sebelumnya. Hampir tiap malam banyak tetangga yang melihat layaknya meteor memasuki rumahku.

Kondisi ayah makin memburuk, namun tak dapat aku mencari pengobatan lagi. Seluruh tabungan habis dan untuk kebutuhan sehari-hari saja menggantungkan dari upah Ibu.

Entah ada angin apa, paman dan keluarganya datang menjenguk. Padahal dulu dia tidak pernah sekalipun menengok Ayah.

" Lihatlah Paman, apa paman tega memakan saudara sendiri?" ucapku terbata.
"Lila, kita bicara di tempat lain" ucap Paman datar.
"Baiklah," ucapku setuju.

Kami menuju ladang samping rumah agar Ayah tak mendengar pembicaraan aku dan paman.

"Atas dasar apa Lila kamu menuduh paman seperti itu?" tanyanya.
"Siapa lagi Paman?, saudara Ayah hanya Paman saja!" ucapku kesal.
"Stop Lila, cukup!" bentak Paman.

***Bersambung dulu ya.... Part 3
Previous Post
Next Post

0 komentar: