Monday, September 7, 2020

CERPEN Cerita Misteri Santet Part 3

Sakit hati bercampur kecewa menjadi satu. Hingga kini aku belum menemukan dalang atas sakitnya Ayah. Bahkan rasa pesimis juga muncul, sebab apapun pengobatan yang ditempuh selalu menambah sakitnya Ayah.

Pengobatan orang Kalimantan kemarin memang sangat manjur, namun sepeninggalnya orang itu malah Ayah sakit lagi. 

Ibu sepertinya sudah ikhlas jika Ayah meninggalkannya. Raut mukanya pun tidak menandakan kesedihan. Dia hanya bekerja dan bekerja saja.

Kini seluruh warisan Ayah sudah benar-benar habis tak tersisa. Sapi 7 ekor serta ladangpun sudah habis terjual. Bersamaan dengan itu, Ayah semakin parah sakitnya dan kecil kemungkinan untuk sembuh.

Jam 7 pagi Ayah menghembuskan napas terakhirnya. Duniaku seakan hancur, namun aku mencoba mengikhlaskannya. Sudah cukup selama ini dia menderita, mungkin ini sudah jalan takdirnya.

Dengan jasad yang mengeluarkan air mata, ku pandangi Ayah untuk terakhir kalinya. Tak dapat lagi aku menopang tubuhku hingga ambruk dan tak sadarkan diri.

Setelah siuman, Ibu merangkulku erat seraya menguatkan ku untuk turut serta memandikan jasad Ayah. Dengan terus menahan sesaknya dada, aku mensucikan Ayah untuk terakhir kalinya.

Hal yang berada di luar nalar pun terjadi.  Saat perut Ayah ditekan untuk mengeluarkan kotoran, keluarlah cairan hitam yang sangat busuk. Beberapa orang yang memandikan juga terpaksa menutup hidung. Untunglah yang memandikan hanya kerabat dekat saja dan orang-orang yang bisa dipercaya.

Langkah ini terasa berat ketika mengantarkan Ayah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Jenazah selesai dikebumikan pun aku baru bisa sampai.

***
Sudah sebulan kepergian Ayah, namun belum juga aku menemukan bukti tentang Paman. Mungkin aku harus mencoba mengikhlaskan, toh Ayah sudah tidak bisa hidup kembali.

Tiba-tiba banyak orang berteriak seakan sedang terjadi demo. Aku bergegas membuka pintu untuk memastikannya.

Rupanya banyak warga sedang membawa pentungan serta ibu-ibu yang berteriak histeris. Bahkan ada salah satu diantara mereka siap membakar rumah Paman.

Mereka semua meneriaki paman untuk segera keluar rumah. Bahkan aku terperanjat ketika mereka menyebut Paman adalah pelaku santet.

Untunglah Pak RT datang tepat waktu menenangkan warga. Paman kali ini selamat sebab mereka tak mempunyai bukti apapun untuk menjeratnya.

"Sena, kali ini kami memang tak mempunyai bukti kuat tapi jika sampai istri ku nggak sembuh awas saja!" teriak salah satu warga.
"Kalau kamu masih berulah, kami tak segan-segan mencincangmu!," ucap warga yang lain.

Dadaku naik turun, mencoba mengatur napas agar bisa setenang mungkin. Berarti benar dugaanku selama ini, Pamanlah pelakunya.

Aku ingin menghampirinya untuk menanyakan kebenaran semua ini. Namun ku urungkan niat, sebab sudah berjanji sama ibu kalau tak akan ribut dengan paman lagi.

Warga kemudian pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan kecewa. Bahkan ada yang tak hentinya "ngedumel".

Aku sangat yakin, kebenaran pasti akan terungkap dengan sendirinya. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai pasti kan tercium saja.

Entahlah kenapa warga bisa langsung menuduh seperti itu. Namun aku semakin yakin jika Pamanlah pembunuh Ayah. Mungkin besok aku akan memulai penyelidikan.

***Bersambung ya...
Previous Post
Next Post

0 komentar: