"Dek, ambil kan Abang nasi," aku minta tolong kerena tubuhku kian melemah dan tak sanggup lagi tegak.
"Kau ambillah sendiri, makanya jadi orang jangan nyusahi aja hidup mu,"
"Ya Allah Dek, kalau nggak terpaksa ..."
"Sudah jangan banyak kali cakapmu, yang makan ini,"
Diletakkannya nasi pakai piring plastik. Ah betapa tak ada harga diriku sebagai imam. Aku suami yang berjuang demi kenyamanan mereka. Hidup mewah, bergelimang harta. Tapi ini balasannya.
"Ma, Ayah pipis tu," teriak anakku, aku tak tahan lagi.
"Ya Tuhan nggak ada tenangnya hidupku, ka buat," lagi-lagi dia memakiku.
Dibersihkan ya semu tapi sumpah serapah keluar dari lisannya. Tak ada kejelasan sedikit pun, tak bisakah dia menghormatimu sebagai suaminya .
"Ma, pulangkan saja dia sama istri mudanya, enak kali giliran strok disini dulu sehat kemana dia,"
Ya aku seperti barang tak berharga Sekarang, Melati menyerahkanku kembali kerumah Tiara, tapi disini pun diperlakukan bak sampah. Salahku hanya satu meninggalkan mereka dua puluh tahun lalu, tapi aku tak pernah menceraikannya. Dasar istri durhaka.
0 komentar: