Kami terus berjalan menyusuri hutan yang semakin dingin dan lebat seiring waktu yang melaju semakin malam.
Menurut Irgi, Adul dan Amad yang sudah pernah beberapa kali mendaki ke Gunung Malabar, Estimasi pendakian ke puncak Gunung Malabar paling lama adalah 4 jam jika mulai berjalan dari Kampung Cidulang tempat kami menitipkan kendaraan tadi, sedangkan jam ditangan saya sudah menunjukan pukul 9 malam kala itu, kami pun memperkirakan akan sampai dipuncak gunung Paling lambat jam 10 atau setengah 11 malam mengingat Kami yang berangkat selepas maghrib dan kami tidak terlalu banyak beristirahat lama selain di pos 1 tadi.
Ketika Kami sedang berjalan dijalan yang cukup menanjak tiba-tiba Saya melihat ada cahaya yang tersorot dari arah depan Kami lalu mendengar samar-samar seperti ada yang memanggil, Tanpa berpikir Panjang, Saya pun sontak bilang,
“Aya Pendaki Lain Euy, Itu Di Hareup” (Ada pendaki lain bro, Itu di Depan) Seraya menunjuk ke arah cahaya itu berada,
Kami lega melihat cahaya yang kami anggap cahaya senter dari kelompok pendaki lain tersebut, mengingat suasana gunung ini yang sangat sepi dan jarang ada yang mendaki dan mengingat Kami sedang dalam posisi tidak pasti bahwa,
“Apakah jalan yang kami lalui sedari tadi ini adalah jalan yang benar untuk bisa sampai ke puncak?”
Kami berenam lalu berlari berusaha secepat mungkin menghampiri cahaya tersebut,
berharap ada pendaki lain yang mendaki di malam jumat begini sehingga suasana bisa berubah menjadi lebih ramai.
Namun ketika cukup jauh berlari, bukannya menemukan yang kami harapkan, ternyata kami hanya sampai pada sebuah batu besar yang bisa dipijak karena tidak terlampau tinggi dimana di tempat tersebut vegetasi cukup terbuka dan kami bisa melihat langit dengan bulan purnama yang bersinar terang, taburan bintang-bintang, juga sedikit cahaya lampu kota dibawah sana.
Kami cukup kecewa karena ternyata tidak ada satu orangpun disini, dan entah cahaya apa yang Saya lihat menyorot ke arah Kami tadi, tapi karena pemandangan itu kami jadi tidak terlalu menghiraukan cahaya apa tadi dan terpaku ditempat tersebut karena keindahannya, kami terdiam cukup lama diatas batu itu, sambil mulai merokok dan mulai kembali bercanda tawa,
Mengingat kami tidak bisa melihat apapun selama berjam-jam selain hutan rapat yang gelap sedari tadi, Kami merasa sedikit terhibur dan suasana pun menjadi cukup cair.
Namun tidak lama kemudian, Kipot yang sedari tadi selalu memulai candaan dengan kelakuan lucunya bilang,
“Ngambeu teu euy?” (Nyium bau ngga?)
Disusul kami semua yang mengangguk karena mencium aroma seperti bau belerang.
Aneh, padahal Gunung Malabar bukanlah Gunung Volcano atau Gunung Berapi dan tidak memiliki Kawah ataupun Kaldera.
Kami semua cukup kaget mencium aroma tersebut, namun Kipot dengan santainya bilang
“Emh anjing bau endog ieumah, bau endog buruk. Aing teu resep bau endog” (Emh ini mah bau telur, bau telur busuk. Gua gasuka bau telur)
Mulai dari sini perjalanan jauh lebih mencekam dari beberapa jam sebelumnya.
Dengan suara besi yang masih terdengar jelas, suara motor yang statis seolah tidak menjauh dan mendekat pun masih terdengar, dengan kunang-kunang yang masih hinggap disepanjang pinggiran jalan setapak.
Kami berenam lalu tetap melanjutkan perjalanan.
Bersambung...
0 komentar: